Tiga Puluh Dua

34.4K 5.3K 182
                                    

Tengah malam ya ini
Happy reading ....

Saat kemarau tiba, bumi tak pernah menunjukkan seberapa rindunya tanah akan tetesan hujan yang tak kunjung datang. Dan ketika banjir melanda, langit enggan memperlihatkan betapa hampanya udara tanpa hadirnya matahari yang menyinari. Semesta seolah sepakat menyimpan rasa. Menutup rapat gelisah yang melanda jiwa, dengan wajah yang pura-pura baik-baik saja.

Namun, kala gundah tak lagi tertahan, dunia menyiapkan badai yang tiba-tiba.

Ah, tunggu saja.

Segalanya, memang bukan untuk selamanya.

"Anak-anak udah tidur, Mas," Nada merapatkan cardigan. Ia melangkah terburu-buru menuju mantan suaminya yang tiba-tiba datang di jam setengah dua belas malam ini. Rintik hujan mulai terasa kian rekat, hingga Nada harus menjadikan sebelah tangan menjadi payung yang menutupi kepala. "Aku 'kan udah bilang mereka nggak apa-apa, Mas," ia hampiri pria itu di tepi jalanan. Berdiri bersisian di tepi mobil, Nada merasa dilema haruskah ia menawari pria itu masuk ke dalam atau tidak. "Kamu dari kantor?"

Aksa mengangguk, ia sugar rambutnya yang berantakan seraya menarik napas panjang. Kemejanya sudah sekusut penampilannya saat ini. Ditambah, ia harus berkendara di tengah rasa geram dan lelah yang tumpang tindih merajai jiwa. Ada kasus yang tengah dikerjakan timnya dan menemukan jalan buntu. Itulah yang membuat Aksa terpaksa harus mendekam diri di kantor lebih lama, padahal kaki-kakinya sudah tak sabar berlari menembus dua jam lebih untuk bertemu dengan tiga jiwa yang paling berharga.

"Gimana tadi anak-anak?" ia desahkan napasnya, kasar. "Aku sama sekali nggak ada kepikiran kalau Anye bakal berani nyamperin mereka di sini," ujarnya benar-benar merasa frustrasi. Inginnya langsung mendatangi Anye dan membuat perhitungan pada wanita itu. Namun, Om Sahrir melarangnya. "Rasanya, pengin banget kuobrak-abrik Senayan demi nyari dia."

Om Sahrir bilang, bila ia langsung mendatangi Anyelir, wanita itu merasa menang karena berhasil memancingnya. Lalu, formulanya pasti terus begitu. Anyelir akan mengganggu anak-anaknya demi memancing kemunculan Aksa.

Nada memperhatikan Aksa dalam diam. Ia dengarkan segala keputusasaan yang keluar dari bibir pria itu. Walau tak tahu ada masalah apa sebenarnya, namun Nada mengasumsikan hal tersebut pasti teramat serius. "Gerimisnya makin deras, Mas," ia menengadahkan tangannya memeriksa hujan yang turun. "Neduh di teras aja, Mas," ajaknya sambil memandang jalanan yang sunyi. "Mau, Mas?"

Tentu saja Aksa mau.

Ia tidak akan melawatkan apa pun yang ditawarkan Nada padanya.

Inginnya tentu saja menggandeng tangan wanita itu agar melangkah bersamanya. Namun, Aksa berhasil menahan diri. Ia biarkan Nada memimpin jalan, sementara dirinya memilih menikmati punggung mungil itu berjalan di depannya.

"Kamu mau teh hangat, Mas?"

Aksa kembali mengangguk.

"Bentar aku buatin dulu, ya?"

Ada dua buah kursi plastik di teras yang warnanya telah terbakar matahari. Terlihat kusam dan pudar. Di salah satu lengan kursinya pun, sudah ada yang terjahit kawat. Dan di sanalah Aksa mendudukan pantatnya. "Anak-anak beneran baik-baik aja 'kan?" tanyanya sebelum Nada berlalu. "Maksudku, ehm ..., mereka nggak benci kita 'kan?" tanyanya sedikit ragu. "Anyelir," ia menjeda kalimatnya dengan helaan napas berat. "Dia nggak bikin anak-anak benci kita 'kan?" ia perlu diyakinkan. Dan itulah yang ia butuhkan.

Sejenak, Nada terpaku pada pertanyaan itu. Juga, pada gurat khawatir yang terpatri begitu jelas dalam sorot mantan suaminya. Di masa lalu, adalah kesenangannya untuk mengelus kerutan di tengah dahi tersebut. "Aku nggak tahu, Mas," Nada menarik bibir menjadi simpul kecil. "Mereka memang anak-anak kita. Tapi, kita nggak akan pernah tahu isi hati mereka yang sebenarnya. Sama seperti aku yang nggak pernah tahu isi hati kamu yang sebenarnya. Menyesalkah soal hari itu? Atau mungkin kecewa karena hari itu?"

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now