Lima Belas

42.7K 5.2K 385
                                    

Cuma mau bilang, secene yg paling atas itu flashback dikit ya

Happy reading

Bangunan di depannya membuat Aksa berdecak.

Sebuah kantor berlantai satu dengan dua pilar menyanggah teras. Bercat putih dengan genteng berwarna bata. Tidak ada yang istimewa dari bangunan tersebut. Di bagian atas, terpajang plank besar yang bertuliskan nama kantor itu. Tanpa ada unsur mewah apalagi megah, Aksa memang paling malas menjemput ibunya ke sini.

Well, kantor ibunya memang tidak sementereng perusahaan keluarga ayahnya yang bergerak di bidang property. Jujur saja, sebelum memutuskan mengambil jurusan hukum, Aksa sempat tertarik dengan jurusan bisnis. Apalagi, setelah mengetahui profit apa-apa saja yang bisa ia hasilkan dari bisnis di bidang property. Investasi jangka panjang yang paling menjanjikan.

Dan Aksa nyaris tergiur.

Tetapi ayahnya tak mendukung keinginannya itu.

Ayahnya bilang, bila hanya ingin menggeluti bisnis keluarga, ia tidak perlu sampai mempelajarinya di sekolahan. Secara umum, orang-orang cenderung memiliki kemampuan berbisnis bahkan tanpa sekolah. Cukup melihat peluang, investasi dapat dijalankan.

Ia memiliki dua pilihan jurusan sewaktu kelas tiga SMA. Bila tidak mengambil hukum, ia harus mempelajari ilmu politik. Ayahnya bilang, politik sedang banyak digandrungi anak-anak muda. Jadi, kesempatannya berkarir dalam dunia politik pasti akan lebih besar.

Namun Aksa enggan ke sana. Baginya, politik adalah dua mata pisau yang teramat tajam. Terjatuh di satu sisinya saja bisa terluka parah. Apalagi bila terjatuh di kedua sisi, bayangan jeruji besi siap mengintai kapan saja.

Baiklah, kembali lagi dengan Aksa yang dengan sangat terpaksa harus menjemput ibunya. Mendorong pintu tanpa tenaga, ia langsung menemui kekosongan di ruang tamu. Memang tak ada font liner yang berjaga di sana. Klien sang ibu biasanya berasal dari Lembaga masyarakat yang meminta bantuan atas ketidakadilan yang menimpa perempuan selama persidangan. Sangat jarang ada masyarakat yang datang sendiri meminta bantuan. Makanya, ibunya juga sangat gencar melakukan sosialisasi. Entah itu di pemukiman padat penduduk, juga di tempat-tempat lokalikasi.

Ada ruang tamu kecil berisi satu set sofa berwarna tosca. Meja kayu yang berada di tengah-tengah, memuat sekeranjang air mineral dan juga satu kotak tisu. Cabinet kayu yang berada di sisi kiri, menopang vas bunga yang tiap hari akan diganti airnya. Masuk lebih dalam lagi, akan langsung dijumpai meja-meja kerja para pengacara yang ikut membantu sang ibu menjalankan Lembaga ini. Terhitung, ada enam pengacara yang bergabung. Kebanyakannya adalah pengacara-pengacara muda yang memiliki prinsip yang sulit dibeli.

"Lho, Aksa?"

Ia belum sampai ke ruangan sang ibu, ketika salah seorang pengacara muda menyapanya. "Mbak Dewi, Mami mana? Masih lama? Gue nunggu di ruang tamu aja, ya?" Aksa langsung memberondong pengacara tersebut dengan rentetan pertanyaan panjang.

"Hah? Mami kamu 'kan, hari ini ada jadwal kunjungan ke LSM. Lagi dampingi Papi kamu katanya."

"Apa iya?" Aksa terkejut. Ia memeriksa kembali ponselnya. Membaca ulang pesan yang dikirimkan ibunya sejam yang lalu. "Nah, ini Mami minta jemput di sini jam lima lho, Mbak," ia menunjukkan isi pesan tersebut pada bawahan sang ibu.

"Ada apa nih, ribut-ribut?" Gita, selaku pengacara yang merangkap sebagai sekretaris, ikut bergabung.

"Mbak Git, si Aksa dateng mau jemput Bu Yas. Lha, kan hari ini Bu Yas ada kunjungan ke LSM. Seharian juga nggak ada ke sini kok."

"Oohh," Gita menatap Aksa dengan senyum penuh makna. "Mbak Yas bilang, Aksa mau bantuin kita kerja mulai hari ini."

"Apaan deh," respon Aksa tak senang. "Kapan-kapan gue bilang gitu ke Mami?" sungutnya kesal. "Ah, Mami ngerjain nih. Udahlah, gue pulang aja."

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now