Tujuh Belas

43.1K 5.7K 214
                                    

Baiklah, aku lupa ternyata hahaha
Okee, hapoy reading yaaa

Oka selalu tak nyaman dengan segala hal pertama yang terjadi dihidupnya.

Baginya, momen pertama kali tak sepenuhnya baik.

Setidaknya, itulah yang ia rasakan.

Seperti, ketika pertama kali ayah datang setelah menyelesaikan pendidikannya, kedua orangtuanya tersebut justru berpisah. Atau saat pertama kali bunda memberikan mereka kartu debit yang berisi uang pemberian ayah selama ini, waktu itu pula mereka baru saja mengetahui dari neneknya bahwa ayah sudah menikah lagi.

Dan masih banyak momen-momen pertama kali yang tak Oka sukai.

Siang ini, ia kembali dihadapkan oleh momen pertama kali yang rasanya begitu asing. Terlampau sulit untuk ia terjemahkan, hingga buatnya kontan terdiam. Langkah-langkahnya yang tadi memacu bersama teman-teman sekelas, sontak melambat. Bahkan kini, Oka menghentikan ayunan kakinya.

Termenung di depan gerbang. Ia mengerjap demi meyakini bahwa sosok yang berdiri di depan mobil yang mengkilap akibat teriknya matahari, merupakan sosok nyata. Bukan ilusi, apalagi fatamorgana.

"Bang!"

Oka menghela, napas yang tadi sempat ia tahan kini berembus pelan.

Sosok itu benar-benar nyata. Tengah melambai padanya sembari melempar senyum begitu lebar. Di saat semua orang nyaris mengernyit karena matahari yang bersinar terlalu terik, ayahnya justru tampak bahagia.

Ayahnya?

Iya.

Sosok yang berdiri di depan mobil tersebut adalah ayahnya.

Buat Oka mau tak mau harus meninggalkan teman-temannya tuk beralih melangkah menuju sosok itu.

"Adek mana, Bang?"

Oka tak lupa menyalaminya. "Ayah ngapain?" sungguh, pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Ia tak mampu menahan diri lagi. "Ayah kok bisa ke sini?"

Dengan kemeja yang telah tergulung hingga siku dan dasi yang tak lagi melilit kerah, Aksa hanya tersenyum. Ia acak surai putranya yang berkeringat. "Abang masuk mobil dulu aja, ya? Panas banget ini, Bang. Ayah aja yang nungguin Adek di sini."

"Yah—"

"Nanti aja Ayah jawabnya. Adek pasti juga ngasih pertanyaan kayak gitu 'kan? Jadi, kita tunggu Adek, oke?"

Oka mengembuskan napas pelan. Sungguh, kehadiran ayahnya di depan gerbang sekolah adalah khayalan yang selalu mengendap di otak Lova yang penuh dengan daya imajinasi. Karena buat Oka, hal tersebut tak pernah terbayang. Dan dirinya, memang tidak ingin membayangkan. "Ayah ke sini karena ada urusan atau memang sengaja mau jemput kita?" ia bertanya lagi.

"Sengaja mau jemput Abang, dong," Aksa menjawab lugas. "Udah, Abang masuk dulu. Panas nih," ia bukakan pintu penumpang di sebelah sisinya mengemudi. "Kalau Abang haus, itu ada air mineral punya Ayah. Minum aja, ya?"

Sebenarnya, Oka masih ingin membantah. Namun entah kenapa, saat melihat wajah ayahnya yang berbinar seperti itu, ia jadi tak tega. Mengurungkan niat, ia pun mencoba mengalah. Ia turuti permintaan pria itu walau hatinya menyimpan tanda tanya besar.

Aksa memang sengaja.

Well, ia benar-benar sengaja datang ke sini untuk menjemput anak-anaknya sepulang sekoalh.

Di masa lalu, ia adalah orang paling impulsif di keluarga. Dan kini, ia tengah melakukan hal serupa. Apa yang terlintas di kepala, harus segera ia realisasikan. Bertahun-tahun ia telah kehilangan jati diri. Bertahun-tahun juga, ia selalu berpikir ribuan kali sebelum bertindak. Tetapi sekarang, ia tak mau hidupnya terus begitu. Telah ia selesaikan satu per satu masalahnya. Jadi, biarkan dirinya tuk melakukan apa yang sempat tertunda.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now