Delapan Belas

44.9K 5.8K 319
                                    

Yok ketemu lagi saama Mas Duda dan Mbak Janda ini hahahaaa...

Jika sekarang mereka terlihat acuh, percayalah pernah ada rindu menggebu yang menuntut temu. Namun karena waktu tak memihak saat itu, jurang yang membentang terasa amat jauh. Cerita yang mereka rangkai terlanjur dalam, dan mendadak saja semesta di sekitar mereka karam. Tangis tragis dipilih menjadi akhir yang kejam.

Membuat cinta yang terajut, tampak tak berharga. Dicurangi dari banyak arah, romansa itu pun tak bisa lagi bergerak dengan leluasa. Rasa yang dibina, tercabut paksa. Harap tuk selalu bersama, tak akan pernah terlaksana.

Lalu, ketika dunia dan seisinya menginginkan mereka bertatap muka setelah sekian lama. Suasana seperti apa yang harus mereka tunjukkan pada semesta?

Haruskah berlapis haru?

Atau, bolehkah menganggap bak musuh?

Yang jelas, Nada tidak tahu harus memilih yang mana.

Ia mencoba bersikap biasa, namun aura kecanggungan di antara mereka kian terasa. Walau tak hanya berdua, keberadaan si kembar justru membuatnya menjadi serba salah. Bila ingin menuruti hati, Nada pasti akan mengunci rapat mulutnya. Tetapi di sini, ia sudah menjadi seorang ibu. Ada anak-anaknya yang tak boleh ia biarkan terjebak penilaian yang salah.

"Ayah nggak minum es, Dek," tanpa sadar Nada meringis begitu putrinya membantu pekerja di warung soto saat menyajikan minuman mereka terlebih dahulu. "Pesenin Ayah teh manis hangat aja. Atau teh hangat. Eh, tapi, nanti Adek tanya lagi aja sama Ayah," Nada langsung melipat bibirnya ketika menyadari ia terlalu vocal memberitahukan apa yang seharusnya diminum oleh sang mantan.

"Lha, kan di luar lagi panas gerah, Bun. Ya, kali, Ayah minum teh manis panas siang-siang gini," bantah Lova segera. "Adek udah terlanjur pesen es tehnya empat lho, Bun."

"Emangnya Ayah nggak bisa minum es, Bun?" tanya Oka yang sengaja mengabaikan adiknya. Ia lebih tertarik pada fakta yang secara tersirat tadi disampaikan oleh sang ibu.

Nada meringis kembali.

Ia menyesali laju mulutnya yang tak terkendali. Perasaan tak nyaman, membuatnya justru tak bisa diam.

"Bunda?"

"Nanti tanya sendiri aja sama Ayah, ya, Bang?" lebih baik ia berkilah. Menyuruh anaknya itu agar bertanya langsung pada sang mantan suami yang saat ini masih menerima telepon dari kantornya.

"Bunda, nggak asyik," cibir Oka sambil mengerling sang ibu. "Makanan kesukaan Ayah apa, Bun?" tanyanya lagi. Sepertinya, mereka sangat jarang membahas soal ayah selama ini. Oka yang merasa sudah terlanjur membenci sang ayah, tak pernah berpikir untuk mencoba ingin tahu pada sosok itu.

"Hm, apa ya? Bunda lupa," Nada enggan menjawab.

"Bunda ...."

Bukan Oka yang merengek, melainkan Lova.

Hal yang kontan saja membuat Nada tertawa geli.

"Kalian ini kenapa sih?" ia tatap kedua anaknya secara bergantian. Sirat matanya berpendar jenaka. "Ayahnya ada kok di sini. Nanti kalian tanya aja sendiri," ucapnya geli.

"Iiishh, Bunda, nggak asyik," Lova mengikuti kata-kata kakaknya tadi. "Padahal, Bunda tinggal bilang aja lho."

Jadi, mereka benar-benar sudah berada di dalam warung soto langganan Nada ketika masih bekerja dulu. Tempatnya tidak jauh dari lingkungan sekolah anak-anaknya. Kebetulan sekali, hari ini ia baru saja mengambil pesangon yang sebelumnya enggan diberikan kantor tempatnya bekerja. Namun berkat Heru, Nada memperoleh apa yang masih menjadi haknya. Dan itulah, alasan mengapa ia mengajak anak-anaknya makan di luar.

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now