Empat Belas

43.3K 5K 452
                                    

Malam sudah terlampau larut.

Hati yang kalut, seharusnya diistirahatkan dalam lelap di atas pembaringan nyaman berlapis selimut. Dengan penerangan redup, serta pendingin ruangan yang bersiap mengembuskan sejuk. Seharusnya, mudah melelapkan mata dari hari-hari yang terlampau buruk.

Namun, Aksa tak melakukannya.

Masih dengan wajah kusut dan kemeja yang berantakan, ia melangkahkan kaki pada hiruk-pikuk gemerlap yang tak mengenal letih. Tak ingin sendiri, sebab yang tersaji adalah kilasan-kilasan memori pedih. Yang membuatnya menyesal setengah mati. Tetapi yang lebih menyakitkan lagi, ia tidak akan pernah bisa kembali.

Perkataan anak-anaknya terus berputar di kepala. Pertanyaan-pertanyaan mereka, tak mampu ia jawab semua. Pedih yang tampak di mata-mata itu, akibat ulahnya. Dan yang bisa ia lakukan adalah menyesali segalanya.

"Lo kalah sidang?"

Seorang kawan lama menghampirinya. Buat Aksa tergelak dan menggelengkan kepala. Ia menyesap wine yang ada di gelas bertangkai tinggi. Menggoyang-goyangkan isinya, lalu menghirup aromanya. Ia sesap kembali sedikit demi sedikit.

"Terus? Tumbenan lo ke sini lewat tengah malam gini? Mana weekday pula."

Namanya Arzanu, teman Aksa semasa kuliah.

Ah, tentu saja mengenal mantan istrinya juga.

Namun pada akhirnya, Zanu memilih meneruskan bisnis keluarganya yang bergerak di bidang perhotelan. Sebagai tambahan dari masuknya Zanu ke hotel keluarga, pria itu membuka Skylounge di lantai teratas hotel. Merenovasi besar-besaran lantai yang dulunya berisi kamar-kamar eksklusif demi impiannya memiliki tempat minum bergengsi berharga tinggi.

"Lo abis lembur, Sa?" Zanu terdengar perhatian untuk ukuran teman lama. Mereka memang tak rutin bertemu. Namun, bukan berarti mereka memutuskan komunikasi. "Lecek amat tuh muka," ledeknya tertawa.

Aksa tidak menyukai night club yang berisik dan terlampau ramai. Beruntung saja, Zanu akhirnya memiliki tempat ini yang sesekali ia datangi bila sedang suntuk. Disk jokey hanya tersedia di hari Jumat malam hingga Minggu malam. Biasanya yang memeriahkan panggung di depan sana adalah alunan jazz yang membuat damai. Sesekali, live music juga pantas dinikmati. Dengan dua atau tiga sloki wine, Aksa beberapa kali duduk di lounge ini sendiri.

"Abis nganterin anak-anak," akhirnya ia jawab juga pertanyaan temannya itu.

"Nganter ke mana? Rumah Pak Menteri?"

"Ck, anak-anak gue, Zan! Si kembar!" seru Aksa jengkel.

"Oohhh ...," nada Panjang Zanu hanya tuk meledek. "Lo sih, kebanyakan anak," kekehnya senang. "Nada apa kabar? Masih galak?"

Meletakkan gelasnya di atas meja, Aksa merebahkan punggung ke sandaran sofa empuk. Suasana temaram dengan sayup-sayup musik yang memanjakan telinga, justru membuatnya mengantuk. "Nada, ya?" ia memejamkan mata demi menajamkan ingatan tentang mantan istrinya. "Udah nggak galak lagi," gumamnya sedikit tertawa. "Justru, dia kelihatan beda. Dia lebih rapuh. Dia terus-terusan nampak resah. Dia ... udah kehilangan esensi jadi dirinya sendiri," Aksa menghela.

"Dia udah nikah?"

Aksa menggeleng. "Gue masih satu-satunya dihidup dia," gumamnya muram.

"Ya, dan dia salah satunya dihidup elo 'kan?" timpal Zanu tergelak.

Lagi-lagi, Aksa menggelengkan kepala. "Dia tetap satu-satunya dihidup gue, Zan. Dan akan jadi satu-satunya."

"Ya, ya, ya, diucapkan langsung oleh laki-laki yang udah pernah dua kali menikah," cebik Zanu menyindir. "Iya deh, gue percaya ..."

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now