Dua Puluh Tiga

38.9K 6.4K 469
                                    

Hallo, minal aidzin wal faidzin yaaa semuanyaaa
Sorry akuu baru menyapa lapak ini wkwkwk
Lagi hectic bgt kemaren2, makanya dunia tulis menulis yg kucintai ini jadi terjeda deh

Happy reading yaa yg lupa ceritanya tinggal di baca bab sblmnya aja

Mereka pernah sangat takjub, ketika melihat pagar tinggi berwarna hitam itu terbuka. Bahkan, ada juga pos penjaga yang memberi salam saat mobil yang mereka tumpangi lewat. Namun, ketakjuban mereka tak sampai di situ saja. Bangunan yang tersembunyi di balik pagar itu tentu saja menjadi primadonanya. Waktu itu, usia mereka baru delapan tahun, ketika bunda memperbolehkan ayah membawa mereka pergi jauh dari rumah. Dan rumah inilah yang mereka tuju.

Rumah mewah itu bergaya klasik dengan empat pilar raksasa yang berdiri menopang teras hingga menuju balkon di lantai dua. Sebelum menuju teras, mereka harus melewati air mancur berbentuk bulat yang berada di tengah-tengah halaman. Banyak sekali pohon bonsai yang disusun bertingkat. Halamannya berlapis rumput hijau, dengan banyak jenis pepohonan yang di tumbuh di sana alih-alih bunga yang menyemarakkan mata.

Saat mulai memijak teras, kaki mereka akan disambut lantai berlapis marmer berwarna gading dengan gradasi abstrak bercorak keemasan. Dipadukan dengan dua daun pintu berukiran abstrak yang tinggi menjulang, rumah itu tampak mengagumkan.

"Yok, Bang, Dek."

Oka menatap punggung ayahnya dalam diam. Ia tahu, banyak sekali permasalahan yang ditanggung para orang dewasa. Namun entah kenapa, setelah rutin bertemu ayah, ia merasa beban ayahnya begitu besar.

Ia tak tahu masalah apa yang membelit orangtuanya. Ia juga belum memahami, mengapa mereka harus berpisah. Tetapi, satu hal yang ia tahu, untuk kembali bersama pun terasa jauh. Hingga diam-diam, ia pun menghela. Lova harus diberi tahu, bahwa untuk menjadi keluarga yang utuh, orangtuanya tidak akan mampu.

Well, iya.

Memang itulah keinginan adiknya.

"Aku boleh nggak sih, Bang, berdoa kalau suatu hari nanti, bisa sarapan bareng sama Ayah sama Bunda tiap pagi?"

Oka berdecak.

Ia enggan menanggapi.

Tetapi tenang saja, tanpa mendapat tanggapan pun, Lova tak akan berhenti bercerita. Sambil menyusuri jalanan menuju sekolah, ia memainkan kuncir rambutnya dengan sengaja menggoyang-goyangkan kepala. "Andai semua khayalan bisa jadi nyata, aku pengin banget mengkhayal, Bunda ada di rumah, terus Ayah yang kerja. Tiap sore Ayah pulang terus peluk Bunda. Tiap minggu, kita jalan-jalan berempat. Makan malam sama-sama. Pengin denger Bunda ngomel-ngomel kayak Bude Indri ngomelin suaminya," lalu Lova tertawa tanpa sadar. "Kayaknya lucu, ya, Bang?"

Oka hanya mendengkus.

Namun, jauh didasar hatinya, ia pun menginginkan hal yang sama.

"Ayah?"

Mereka baru melewati foyer yang berisi guci-guci mahal dan vas bunga raksasa yang menurut cerita ayahnya, selalu diisi oleh bunga-bunga segar.

"Kenapa, Bang?"

Oka terdiam sejenak. Kembali, ia jadikan punggung ayahnya pusat atensi. Bunda pernah bilang, bahwa hidup bunda bahagia dengan adanya mereka di sisi bunda. Justru, bunda berkata, hidup ayahlah yang merana karena harus jauh dari kedua anak-anaknya.

Dan entah kenapa, itulah yang Oka rasakan sekarang.

Hingga tahu-tahu saja, ia sudah mengusap punggung ayahnya. "Sehat terus, ya, Yah? Abang sama Adek jauh dari Ayah. Jangan sakit-sakit," ucapnya tulus.

Aksara SenadaOn viuen les histories. Descobreix ara