Dua Puluh Tujuh

37.5K 5.5K 168
                                    

Drama per-haid-an Lova masih berlanjut yaaa hahaha cerita ini kan emang slowburn yaaa jadi yaa bener2 pelan-pelaannn

Okee yaaa, happy reading ....

"Nanti, Adeknya dijaga bener-bener, ya, Bang?"

Oka sedang memangku sebuah katalog perumahan di pangkuan, saat ayahnya datang dan bergabung bersamanya di ruang tamu. Ikut duduk juga di sebelahnya, tangan pria itu menggeser remot televisi ke atas meja. "Cuma Abang aja yang harus jaga Adek? Ayah nggak mau ngejaga dia?" pertanyaan itu dilempar tanpa tedeng aling-aling. "Kerjaan Abang udah banyak, Yah. Ngejaga Bunda, sekarang harus jaga Lova juga. Ayah nggak mau bantuin?"

Aksa terhenyak mendengar perkataan sang putra. Ia yang semula berniat merebahkan punggung di sandaran sofa, kini duduk dengan tegap. Memandang anak laki-lakinya lama, lalu pandangan Aksa mengarah pada foto berbingkai besar yang ia pajang tepat di depannya. "Lihat, dulu Abang masih segitu," Aksa menunjuk salah satu bayi yang ada di foto itu dengan jemarinya. "Masih bayi, botak lagi," kekehnya seraya mengulurkan tangan mengusap rambut anaknya. "Tapi sekarang, Abang udah tinggi. Bentar lagi ngelebihin Bunda tingginya. Terus, rambutnya udah lebat. Ganteng lagi."

Ketika ayahnya tertawa, Oka pura-pura mendengkus. Namun matanya, ikut mengarah pada potret keluarga yang tadi ditunjuk pria itu. Ada sepasang orangtua muda dengan dua bayi kembar dalam gendongan masing-masing. Potret itu begitu sederhana, berikut dengan pakaian yang dikenakan mereka. Namun entah kenapa, Oka bisa merasakan tatapan ayahnya ketika melihat potret itu begitu berharga. Seolah-olah, benda itu adalah hal paling istimewa di seluruh perabot mahal yang ada di apartemen ini.

"Foto itu, kapan diambil, Yah?" tanyanya penasaran.

"Hm, dua minggu sebelum Ayah berangkat," kini Aksa sudah merasa jauh lebih santai dari sebelumnya. Ia meninggalkan mantan istri juga anak perempuan mereka di dalam kamar. Nada yang meminta, wanita itu bilang ingin berbicara berdua saja dengan Lova. "Kita datang ke studio foto dianterin sama Om Akhtar. Bunda cantik, ya, Bang?" tanyanya sembari menyertakan senyum bangga.

Pertanyaan yang kontan saja membuat Oka menatap sang ayah dengan kening berkerut. Sementara pria itu malah melemparnya dengan cengiran. Oka berdecak, ia tutup katalog yang berada di pangkuannya, lalu meletakkannya kembali pada laci di bawah meja. "Istri Ayah yang dulu, nggak marah ada foto itu di sini?"

"Dia nggak tinggal di sini," desah Aksa dengan berat.

"Ayah juga nggak tinggal sama dia 'kan?"

Aksa mendesah. "Ayah tinggal di sini. Bareng sama kenangan-kenangan kita," ucapnya sendu. Senyumnya terpatri tipis, sementara matanya mendayukan rindu. "Bunda cantik, ya, Bang?" netranya memaku pada potret seorang wanita muda yang berada di sisinya sewaktu muda. Wanita itu mengenakan kemeja putih yang serupa dengan miliknya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Dan senyumnya benar-benar indah. "Andai waktu bisa kembali, Ayah bakal milih nggak berangkat ninggalin kalian. Andai Ayah tahu waktu yang kita jalani sama-sama begitu singkat, Ayah pasti nggak mau ninggalin kalian cuma buat kuliah lagi."

Oka masih tak paham betapa rumitnya kehidupan orang dewasa.

Pikirnya, selain bekerja dan mencari uang, hidup orang dewasa akan baik-baik saja. Jatuh cinta, menikah, lalu punya anak. Oka mengira, permasalahannya hanya begitu saja. Tetapi sepertinya ia salah. Kehidupan dewasa benar-benar membingungkan.

"Kenapa Ayah menikah sama mamanya Adiva tapi nggak tinggal bareng mereka?" sebenarnya itu juga membuat Oka bingung. Fakta bahwa ayahnya kerap membawa mereka ke tempat ini, mereka pikir, tante Anyelir pun tinggal di sini.

"Karena tempat ini punya kita," Aksa menoleh pada putranya. Tangannya menepuk-nepuk paha anaknya sambil memakukan tatapan pada potret harmonis di depannya. Melihat sejuknya senyum Nada dan dirinya di waktu muda. Oka yang masih belum ditumbuhi rambut lebat. Serta Lova yang mengenakan bando merah muda serupa dengan baju yang dikenakan bayi mungilnya itu. "Tempat ini punya kita berempat. Dan Ayah nggak akan mengizinkan dia buat tinggal di sini. Ayah nggak mau dia nodai kenangan kita."

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now