Sembilan Belas

41.8K 6K 320
                                    

"Mbak Nada, ini teh hangatnya, ya?"

"Iya, makasih ya, Bu Tri," Nada mengaturkan senyuman pada pemilik warung soto yang sudah dikenalnya sejak ia dan rekan-rekan kerjanya dulu, sering memilih makan di sini. "Pak Akmar sehat, Bu? Udah lama saya nggak ke sini," ia menanyakan kabar suami Bu Tri, yang sebenarnya hanya ingin berbasa-basi saja.

"Alhamdulillah sehat, Mbak Nada. Cuma, ya, gitu. Asam uratnya sering kambuh."

Nada hanya tersenyum. Lalu mengangsurkan teh hangat tersebut kepada mantan suaminya. "Ini minum kamu, Mas," sekalian ia menjauhkan es teh yang sebelumnya berada di depan pria itu.

"Wah, Mbak Nada, ini calonnya, ya?"

Aksa tersedak.

Nada buru-buru mengangsurkan teh hangat tersebut pada laki-laki itu. Kemudian, ia tatap si pemilik warung sambil meringis. Ia pikir Ibu Tri itu sudah pergi. Rupanya, masih berdiri di sana sambil mengulum senyum sungkan.

"Diajak makan ke sini, sekalian dikenalin ke anak-anaknya, ya, Mbak?" tanya Bu Tri terlihat begitu penasaran. "Dulu saya sempat mikirnya Mbak Nada sama Mas Heru. Eh, ternyata, udah ada calon ya, Mbak, buat bapaknya anak-anak."

Hal inilah yang paling tidak Nada sukai bila harus beramah-tamah dengan orang. Pasti, ada saja mulut-mulut penasaran yang ingin tahu tentang kehidupan pribadinya. Walau ia sama sekali tak menutupi statusnya sebagai janda dengan dua anak, tetapi ia tidak suka bila orang-orang sudah terlalu jauh ingin mengetahui ranah pribadinya.

Sementara di sebelah Nada, wajah Aksa memerah. Kuah soto yang masih mengepulkan asap, membuatnya kepanasan. Tetapi tak hanya itu. Pertanyaan dari ibu-ibu berdaster biru dengan kerudung hitam itu, membuatnya tersinggung.

Apa tadi kata ibu itu?

Calon ayah baru untuk anak-anaknya?

Siapa?

Dirinya?

Hah! Andai ibu itu adalah lawannya dalam persidangan, Aksa tak segan-segan menghardiknya. Tak lupa, ia pastikan bukti-bukti yang ia lempar ke persidangan membungkam mulut tersebut dengan telak.

Calon ayah baru?

Ck, anak-anaknya tak butuh itu!

Ia masih hidup.

Ia masih sehat.

"Maaf, ya, Bu Tri," Nada kembali tersenyum agar wajahnya terlihat ramah. "Ini Mas Aksa, Bu," ia sentuh lengan pria itu dengan sadar. "Justru, beliau ini ayahnya anak-anak saya, Bu."

"Oalah, begitu toh?" Bu Tri tampak benar-benar terkejut. "Tak pikir, Mbak Nada itu cerai mati sama suaminya. Ternyata, mantan suaminya masih hidup, ya?"

Heh! Apa-apaan lagi itu?! batin Aksa mengeluh berang.

Bisa-bisanya, ia diperkirakan mati!

Astaga, selera makannya langsung hilang.

"Enggak, Bu. Kebetulan mantan suami saya kerjanya di luar kota," ia terangkan sedikit saja. "Mari, Bu, kami makan dulu, ya?" dan itu artinya ia benar-benar ingin mengakhiri pembicaraan.

"Oh, iya, iya, Mbak Nada. Silakan dinikmati makan siangnya. Maaf, yo, Mas, saya salah sangka."

Aksa tersenyum masam. Ia sudah malas berkata-kata.

Melihat keengganan pria di sebelahnya, Nada menghela. Ia menggeser satu piring kecil berisi empat buah perkedel yang tadi memang ia pesan juga. Mengarahkannya pada sang mantan suami, tak lupa ia pindahkan juga potongan jeruk nipis ke dekat laki-laki itu. "Ini perkedel daging, Mas," ia tawarkan dengan sengaja. "Kamu masih suka daging 'kan?"

Aksara SenadaWhere stories live. Discover now