Chapter. 2

10.9K 628 10
                                    

Selamat membaca 🌵

Abdi duduk di sebelah Bellona yang tampak sedang memeriksa pekerjaannya sebagai akuntan. Abdi sendiri pemilik perusahaan konsultan bisnis yang nama pemiliknya sengaja menggunakan nama Felix.

"Perjanjian kerja sama kita, nanti saya kirim ke email kamu, kamu tanda tangan digital aja."

Bellona menoleh, "oke. Boleh saya simpan nomor HP Pak Abdi, atau saya harus ke aspri Bapak?"

"Nomor saya aja. Mana HP kamu," pinta Abdi. Bellona menyerahkan ponselnya. Abdi tertawa pelan saat melihat seri HP gadis itu.

"Kenapa? Emang bukan HP merek buah yang saya pake, tapi merek makanan enak di Bandung, yang penting fungsinya. Saya nggak kemakan merek." Sinis dan tegas, itu yang terlihat dari diri Bellona. Abdi hanya tersenyum tipis, ia menyimpan nomor ponselnya lalu menyerahkan kembali ke Bellona.

"Saya simpan pakai nama Pak Abdinegoro atau yang lain?" lirik Bellona.

"Yang lain? Maksudnya?" Abdi bertopang dagu.

"Klien belagu," jeplaknya.

"Belagu? Karena saya cuma ketawain HP kamu?" Abdi menyipitkan mata menatap Bellona yang mengangkat bahunya.

"Jadi cewek baperan amat," gumam Abdi. Bellona menganga, ia terkejut karena Abdi bisa juga bicara tidak formal, tau gitu ia bisa bersikap santai.

Ia menyaman duduknya dengan menekan tombol kursi supaya lebih sedikit merebah. "Ternyata bisa ngomong santai, kirain kaku kayak sepatu kulit." Bellona kembali membaca laporan triwulan keuangan cabang perusahaan dengan santai, tak sekaku sebelumnya.

"Kamu pikir saya bukan manusia normal, harus terus formal kalau bicara." Abdi menoleh lagi, menatap Lona yang hanya mengangkat sebelah alis matanya.

***

Abdi melepaskan setelan jas mewahnya, pembantu yang juga pengasuhnya datang ke Penthouse karena Abdi harus pindah sementara waktu entah untuk berapa lama ke rumah ayahnya sampai masalah perusahaan selesai.

"Abdi, mau dibawa semua bajunya?"

"Nggak, Bi, di sana juga ada baju saya. Bibi bantu bawain beberapa aja. Saya mau mandi." Abdi tampak sedikit kesal karena Bellona.

Setelah selesai mandi, ia bergegas menghubungi Monita. "Halo, Kak, lo kirim siapa, sih, buat bantuin?! Belagu banget!"

"Siapa, Bellona?"

"Iya, lah!"

"Abdi, gue nggak bakal asal kirim orang, ya. Lo kali yang udah senggol harga diri dia."

"Gue cuma sedikit ketawa karena lihat HP yang dia pake mereknya bukan--"

"Itulah elo. Makanya jangan kebiasaan lihat orang lain dari barang yang dia punya. Lo nggak tau Bellona kayak apa. Apalagi sekarang dia kerja sama lo, kalian akan saling berkomunikasi. Jadi, gue minta, Di, jangan gampangi Bellona. Gue mohon lo juga jangan persulit dia. Dia butuh kerjaan ini, dia butuh duit. Lo kelebihan duit, dia butuh itu, tapi bukan cuma-cuma, Bellona rela lepasin sebanyak apa pun duit kalau harga dirinya udah tersenggol." Komunikasi selesai, Abdi justru disemprot Monita. Ia mendengkus, ia harus berhati-hati, kadang karena kedudukannya, saat ia tak biasa melihat hal biasa dari orang lain, ia seolah meremehkan padahal hanya merespon tapi sayang senyuman remeh yang terlihat.

Bibi meminta beberapa orang mendorong lima koper besar milik Abdi, lelaki itu merangkul bahu bibi yang sudah bersamanya sejak dulu.

"Bi, apa saya hancurin aja perusahaan Ayah, ya, lagian Ayah juga nggak peduli. Sibuk sama istri mudanya yang pantas disebut anak."

His Alterego ✔Where stories live. Discover now