Chapter. 9

6.7K 528 16
                                    

Jadi gini, tadi saya baca beberapa komentar, lalu jadi ketawa sendiri. Kenapa cerita ini jadi ada misteri siapa pelaku yang bikin kacau perusahaan, ya? Padahal niat saya mau ambil romance-nya dengan suasana kantor juga di tempat lain yang belum pernah saya bikin.

Emang dasar otakku, suka rada melenceng. Maafkan, ya, teman², nanti dicoba lebih ke uwu²nya, ya, 😌😌😌😌😌😌.

Selamat membaca 🌵

Bellona membawa buku agenda juga pulpen, dengan tenang ia berjalan ke ruang rapat untuk pertama kalinya. Beberapa orang sudah hadir di sana.

Abdi sedang bicara dengan  Bahtiar, entah apa karena berbisik di dalam ruangan itu. Bellona duduk di tempat yang diarahkan Bahtiar. Ia menyapa semua yang hadir dengan senyuman juga anggukan kepala pelan, tapi tidak ada respon balasan. Yasudah, Bellona menatap Abdi yang terlihat sungguh wibawa padahal ... ya, tau sendiri, lah.

"Baik. Kita mulai sekarang." Abdinegoro berdiri, ia ke sisi sebelah kiri. "Hari ini kantor kita ada seseorang yang nantinya membantu kinerja perusahaan. Kalian semua tau kalau rumor perusahaan ini akan gulung tikar sudah tersebar dan membuat semua orang bahkan mitra waralaba kita panas dingin?"

Peserta rapat yang hanya lima belas orang mengangguk. Direktur utama, direktur keuangan, direktur HRD, direktur pemasaran juga tim inti pemasaran semua menatap serius ke Abdi yang menjabat sebagai Komisaris utama menggantikan Sena--ayahnya.

"Saya tidak akan biarkan perusahaan bangkrut." Abdi tersenyum sesaat, membuat semua orang tersenyum. "Hanya saja, ada catatan penting yang harus kalian perhatikan."

Raut wajah peserta rapat berubah lagi, menjadi bingung. "Bellona, silakan berdiri dan memperkenalkan diri."

Bellona mengangguk, ia berdiri lalu menatap semua orang. "Perkenalkan, nama saya Bellona. Saya bekerja di perusahaan ini seb--"

"Sebagai wakil komisaris atau tangan kanan saya," jawab Abdi sambil menatap Bellona.

Abdi ... kenapa nggak kasih tau dari awal! Hih!, batin Bellona sambil menatap lekat joker mengesalkan di sampingnya.

"Lho, Pak. Tidak bisa, dong. Sejak kapan ada rapat intern sampai mendadak ada posisi lain? Seharusnya sesuai struktur organisasi perusahaan," protes direktur utama yang seharusnya, ia lebih pantas jadi wakil komisaris.

"Oh, ya?" Abdi bersedekap. Ia menatap tajam ke arah dirut yang usianya empat puluh tahunan, hampir lima puluh. "Kalau boleh saya tau, apa Bapak tau siapa saja yang menempati posisi dibawah anda?" tantang Abdi.

"Jelas tau. Tanggung jawab saya mengawasi operasional perusahaan," jawab pria itu.

"Kalau begitu ... berapa kerugian perusahaan triwulan ini? Berapa persen? Dan kenapa hal itu terjadi?" Abdi masih menatap lekat. Pria itu diam, terlihat panik.

"Saya akan siapkan laporannya dan--"

"Stop. Saya sudah tau dan baca. Lalu, apa program pemasaran untuk semua unit usaha yang ada di perusahaan kita? Yang harus kita sounding ke mitra keseluruhan?" lanjut Abdi. Pria itu diam, ia melihat ke direktur marketing yang membuang muka.

"Saya juga tau hal itu. Begini, Pak Wibowo. Jika memang ... anda tidak sanggup memimpin lagi, cukup bilang ke saya, maka saya akan hitung berapa pesangon anda, dan silakan keluar dengan baik dari sini." Abdi bicara dengan pelan, tapi begitu menusuk.

"Perhatian untuk semuanya. Saya sudah tau apa yang terjadi di sini. Ayah saya mungkin tidak peduli, tapi saya sangat peduli. Maka dari itu. Saya kasih kesempatan untuk kalian yang mau bekerja untuk mengubah semuanya dengan persetujuan Bellona. Jangan ada yang maju ke saya sebelum mendapat ACC Bellona. Untuk sementara, saya akan memangkas tunjangan kalian para manajer dan direktur. Tidak ada kendaraan dinas, tunjangan bensin, juga tunjangan kinerja. Sampai kondisi keuangan perusahaan kembali normal. Selamat siang." Abdi berjalan cepat dengan sangat gagah sambil memasang kancing jasnya. Ia mendorong pintu, tampak pintu kaca ruangan Bellona sudah terpasang tulisan wakil komisaris.

His Alterego ✔Where stories live. Discover now