Chapter 35

5.2K 388 10
                                    

Selamat membaca 🌵

Sena pergi meninggalkan ruang rapat dengan wajah sendu namun juga ada rasa lega di dalam hati karena Wulan baik-baik aja selama puluhan tahun tak bertemu.

Eva berdiri di dekat lift, bersandar menatap hampa. Mendadak nyalinya ciut dan merasa minder setelah ia melihat bagaimana tatapan suaminya dan si mantan istri seperti masih tersisa percikan cinta.

"Cantik mantan istri Mas, ya." Senyum masam terlihat jelas di wajah Eva. Sena hanya melirik lalu meraih jemari tangan Eva untuk berjalan masuk ke dalam lift.

Mereka diam, tak ada percakapan lagi hingga Eva tersenyum tipis. Ia bisa melihat pantulan wajah yang menunjukkan kebingungan Sena.

***

"Ibu, yakin, tempat ini cukup?" Abdi dan Bellona duduk di ruang tamu unit apartemen dengan kamar tidur tiga, yang artinya sangat besar, sambil menatap Wulan.

"Iya. Sangat cukup, Abdi. Bima dan istrinya juga merasa ini besar. Kamu pikir Ibu mau tidur di tempat yang seluas lapangan bola, jadi kalau manggil harus teriak-teriak," kekeh ibu.

"Abdi cuma mau kasih yang terbaik untuk Ibu, itu aja, Bu."

"Gue nggak? Gue juga mau yang terbaik dari Kakak gue yang kaya raya," sindir Bima sembari duduk di sebelah ibu, ia memangku putrinya yang menggemaskan.

"Mas Bim, jangan gitu. Segini juga udah baik," tegur sang istri.

"Tuh, lo dengerin istri lo," sinis Abdi.

"Udah, ah! Jangan keterlaluan kalau bercanda!" tegur ibu sewot. Ia beranjak, berjalan ke arah jendela yang menyediakan pemandangan luas kota Jakarta. "Kalian harus kompak ya, perkara pekerjaan, hubungan Kakak Adik, juga harus kompak dalam ketidak sombongan. Kesuksesan kalian kelak, jangan jadi kalian jumawa. Kekayaan, tahta dan semua hal nyaman itu semu. Jangan terlena." Ibu berbalik badan, senyumnya mereka seiring dengan tangan terulur meminta dua putranya mendekat.

Abdi dan Bima berjalan ke arah ibunya. Dua anak lelaki dewasa itu, tetaplah anak-anak, Wulan memeluk bergantian. Menciumi kening juga kedua pipi putra-putranya.

""Kalian patut berbahagia, darah seorang Sena mengalir deras, pebisnis handal dan darah membumi kalian juga harus tetap ada, karena kalian putra Ibu Ayu Wulandari yang seorang rakyat biasa. Ingat pesan Ibu, ya, membumi setinggi apa pun kalian bisa terbang. Langit tidak akan bisa kalian kejar, menapak lah pada tanah, kalian akan baik-baik saja. Ibu, sangat menyayangi kalian, kita bisa bersama seperti ini kayak mimpi yang nggak bisa Ibu minta, tapi ini jadi kenyataan. Dua jagoan Ibu, jangan pernah saling benci, ya."

Abdi dan Bima memeluk erat ibunya, sementara Bellona dan istrinya hanya bisa tersenyum menatap.

"Lona, udah hubungi keluargamu di Semarang? Kapan Ibu bisa ke sana?" Pertanyaan itu membuat Bellona mengerjapkan mata karena terdengar seperti desakan permintaan mempercepat pernikahan.

"I-tu, Bu, belum. Lona masih mau urus kerjaan, kebetulan perusahaan mau ada hal penting jadi ..., Lona mau ... urus itu dulu." Bellona menatap Abdi yang mendadak lesu. Padahal lelaki itu siap kapan saja jika Bellona meminta ia berangkat ke Semarang untuk melamar resmi sekaligus menentukan tanggal pernikahan.

***

"Kenapa aku ngerasa kamu minta mundur acara pernikahan kita, Lona?" Abdi mengekor Bellona yang sibuk menyiapkan beberapa dokumen terkait pekerjaan di ruang arsip. Bellona mendengkus, ia melihat sekitar, rak-rak arsip di ruangan itu menghalangi mereka berdua yang kini berdiri berhadapan.

"Bukan gitu, aku mau urusan kantor stabil dulu, Abdi ... jadi kalau nanti kita menikah dan bulan madu, nggak kepikiran kerjaan."

"Alasan. Kamu cari alasan aja, 'kan?" melas Abdi. "Lona ...," bujuknya. Ia memeluk gadis itu dari belakang. Meletakkan dagu di bahu kanan tunangannya. "Kita bisa lakuin itu berdua. Bulan madu sambil mantau kerjaan. Kita bisa, Lon, ayo lah ... nggak ngertiin banget aku udah pingin--"

His Alterego ✔Where stories live. Discover now