Chapter 26

4.9K 385 5
                                    

Selamat membaca 🌵

Setelah makan malam mereka pulang kembali ke apartemen, Abdi mengantar hingga depan pintu lobi tower tempat tinggal Bellona, karena tower tempat Abdi ada di sisi lain.

"Lona!" teriak seseorang. Bellona terkejut saat melihat ibunya berjalan menghampiri dengan dua koper ukuran besar.

"Bu?" Bellona sangat terkejut.

"Bener ini kamu, Nak ...." Ibu memeluk Bellona lalu melepaskan lagi. "Ibu tinggal sama kamu, ya," pintanya. Bellona diam, ia menoleh ke Abdi yang masih berdiri di dekatnya.

"Ini pacar kamu, ya? Orang kaya?!" pekik ibu. Bellona masih diam, tatapannya bisa diartikan ia bingung tapi kesal juga.

"Selamat malam, Bu, saya Abdinegoro, saya--"

"Saya Ibunya Bellona. Kamu pacarnya, ya? Wah ... terima kasih udah jadi pacar Bellona." Jabat tangan ibu begitu erat dan cepat, Abdi mengangguk, ia mencoba seramah mungkin.

"Bu, bukannya Ibu tinggal di kontrakan?" pertanyaan Bellona membuat ibu beralih menggenggam jemari tangan Bellona.

"Ibu nggak punya uang, Ibu kabur. Belum bayar kontrakannya. Ibu kemarin lihat kamu keluar dari gedung ini, awalnya nggak yakin itu kamu, pas Ibu tanya ke sekuriti, dia mengiyakan kalau ada penghuni atas nama Bellona. Langsung Ibu berkemas dan ... di sini sama kamu."

Bellona lemas mendadak, ia hanya bisa berdiri menatap datar.

"Bapak gimana? Kalian bener udah resmi cerai?" Bellona menembak langsung dengan pertanyaan itu.

"Iya. Ibu nggak mau lama-lama, walau masih harus sidang satu kali. Bapak udah talak Ibu. Ibu nggak tau Bapak di mana dan Bapakmu udah nggak kerja, dipecat."

Bellona menghela napas panjang lagi. "Toko Ibu gimana? Masih ada?"

"Masih, aman kalau itu, tapi masa Ibu tinggal di toko. Ibu tinggal sama kamu, ya, sayang?" bujuk ibu.

"Ibu ..., mau saya sewakan satu unit apartemen aja? Karena tempat Lona takutnya terlalu kecil?" Tawaran Abdi membuat Bellona menganga tak percaya.

"Wah ... benar?! Iya, deh, boleh ... Ibu ma--"

"Ibu tinggal sama Lona, kita tinggal berdua." Bellona menyeret dua koper ibunya ke arah lift. Ia melirik kesal ke Abdi karena menawarkan hal tadi. Tak suka, Bellona justru marah walau ia redam dalam dada.

***

Di kantor, Bellona sedang membuat kopi, ia melamun karena kehadiran ibunya. Dunianya baru saja hendak merengkuh kebahagiaan, tetapi kini seperti mimpi buruk datang kembali.

"Hai," bisik Abdi lalu mencium pipi Bellona sejenak. Bellona menggeser tubuh menjauh, ia tak suka Abdi seperti itu, ya, walau CCTV ruangan itu sudah diatur Abdi saat ia sedang bertemu Bellona sebentar, tidak akan merekam kegiatan mereka walau sekedar ngobrol sambil minum kopi.

"Kamu marah?" tanyanya. Bellona diam. "Pesawatku ke Jogja tiga jam lagi, dan aku masih dicuekin kamu, Lon? Kita nggak ketemu seminggu, lho. Di Penang belum tentu aku bisa telpon kamu terus dan kita--"

Bellona berjalan meninggalkan ruangan itu sambil membawa cangkir kopi. Abdi menghela napas, tangannya meremas pinggir meja tempat membuat kopi. Abdi cukup terkejut, Bellona tidak pernah marah kepadanya selama ini, tetapi perkara ia menawarkan menyewakan apartemen ke ibunya Bellona kekasihnya mengabaikannya.

Jam satu siang, Bellona dipanggil ke ruangan Abdi. Ia segera masuk ke ruangan itu dan berdiri di dekat meja.
"Lon, sorry ...," lirih Abdi. "Aku nggak mau kamu marah begini. Fine, aku salah karena tawarin unit apartemen ke Ibu kamu, aku cuma--"

"Dan tambahan modal usaha. Lima puluh juta. Apa-apaan kamu?!" sinis Bellona. "Kamu tau sendiri Ibuku kayak apa, kamu mau cari perhatian dia atau berusaha dekat karena hubungan kita ... nggak gini caranya, Di?!" tatapan Bellona tak ramah. Kecantikan alaminya tertutup mekap, lipstik merah cabai juga aura amarah.

Abdi berjalan ke arah pintu, memastikan karyawan lain sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dengan cepat ia menarik tangan Bellona ke arah sudut dekat rak buku. Abdi memeluk Bellona erat, wajahnya ia sembunyikan pada ceruk leher Bellona.

"Oke ..., maafin aku udah lancang, ya, jangan marah lagi, Lon, aku nggak mau kamu cuekin, ya," bujuknya. Tangannya memeluk erat pinggang ramping Bellona.

"Jangan kasih kemudahan mereka, Di, Ibu dan Bapakku. Aku mohon ...," lirihnya dengan nada sedih. "Aku juga nggak mau diemin kamu, tapi aku nggak suka kamu begini."

"Iya, Lona, iya ..., maafin aku," lirihnya lagi. Ia melepas pelukan. Bellona membuang pandangan, air matanya jatuh. Sejujurnya ia tak bisa mendiamkan Abdi juga, rasanya sesak.

Abdi memegang dagu Bellona, kedua mata mereka saling menatap lekat. "Satu minggu kita nggak ketemu, angkat telpon aku dan balas chat, ya, jangan dicuekin, mi amor," bisik Abdi di depan wajah Bellona. Ia memejamkan mata, saat Abdi memberinya ciuman penuh kelembutan.

"Segini dulu aja, sisanya nanti kalau udah sah," ujarnya sambil tersenyum tampan. Bellona tersenyum sambil menunduk. Abdi lega, ia meminta Bellona mengawasi kinerja stafnya, ada berita jika penjualan di beberapa kota menurun.

Perjalan dinas mereka juga terpaksa tertunda dan akan dijalankan setelah Abdi pulang dari Penang.

"Iya, yaudah sana, hati-hati, ya." Bellona merapikan kerah kemeja Abdi. Lelaki itu menatap dengan binar bahagia. Apalagi saat Bellona bilang, kalau ibu harus diajak bahagia. Urusan kantor ia yang handle.

"Kalau aku ngelamar kamu, kecepetan, nggak? Bulan depan?" Abdi memegang jemari tangan Bellona.

"Kita belum terlalu saling tau isi hati masing-masing. Aku mau menikah sekali seumur hidup. Bukan berarti aku nolak kamu, aku mau lebih yakin. Aku juga mau kamu kenalin aku ke keluarga besar kamu jadi aku bisa ambil keputusan kita seperti apa. Menikah bukan perkara aku dan kamu, tapi kita dan mereka. Aku juga harus mengultimatum kedua orang tuaku, karena kamu tau sendiri seperti apa. Kalau memang kita jodoh dan tau menantunya orang kaya raya dan berpengaruh di dunia bisnis, aku yakin mereka akan morotin kita. Kamu nggak enakan orangnya, sedangkan aku nggak mau mereka memanfaatkan siapa kita."

Abdi paham, ia mengangguk. "Kita bahas setelah aku pulang dari Penang. Jujur, usiaku nggak muda lagi dan Ayah minta aku nikah tahun ini, jadi, aku ... Lona, jangan tolak aku kalau memang harus melamar kamu, ya." Wajah Abdi begitu penuh harap. Bellona tersenyum.

"Bahagiakan Ibumu dulu, obati sampai sembuh, aku tunggu kamu, ya. Lelakiku," lirih Bellona sembari mengusap wajah Abdi.

"Iya, boss," ujar Abdi lalu memeluk Bellona, ia memejamkan mata. Perasaannya begitu membuncah bahagia. Ia sengaja mau menikah cepat dengan Bellona, ia laki-laki normal, takut kebablasan. Apalagi ia akan ke Jepang mencari keberadaan kakak Bellona, tak mau nanti terjadi sesuatu diluar norma agama lagi, Abdi sungguh-sungguh menghormati kekasihnya begitu besar.

Ia pernah rusak dengan meniduri mantan pacarnya walau akhirnya diusir bibi dan putus. Bagus tak hamil. Semenjak itu ia sadar, jika tak sepantasnya seperti itu, laki-laki tak boleh menjadi bajingan dalam urusan meniduri perempuan.

Bellona, ia mau jaga hingga saatnya tiba. Ia mencintainya. Hanya Bellona yang mampu membuatnya rela menjadi tak punya apa pun juga dan tetap menjalani alteregonya dengan arah yang benar. Bellona layaknya co-pilot, Abdi membutuhkannya untuk mengarahkan saat ia salah jalan.

bersambung,

His Alterego ✔Where stories live. Discover now