Chapter. 17

5.7K 452 6
                                    

Selamat membaca 🌵

"Jadi ... kamu nggak tinggal di rumah Ayah?" Bellona menoleh ke arah Abdi sambil berjalan menuju ke rumah lelaki yang kala itu menjadi lawan tarungnya.

"Iya. Saya minta bantuan Felix untuk cari unit apartemen yang kecil, dan beda tower sama kamu."

"Kantor jadi ramai dan ... sorry, tadi saya tampar kamu," ringis Bellona.

"Akting harus total, walau saya nggak yakin mereka percaya apa nggak." Abdi tersenyum lebar. Kedua matanya membulat saat melihat pergerakan seseorang yang masuk ke rumah bercat coklat.

"Seenggaknya, kita bisa kasih mereka sedikit terapi jantung tentang hubungan kita yang pura-pura itu, intinya kita nggak perlu bikin rumor pacaran lagi, 'kan?" 

"Ya, betul." Abdi menyahut dengan pandangan ke arah rumah tersebut. Langkah kakinya berjalan mendekat, ia terus memperhatikan. Seorang pria tampak masuk ke dalam rumah dengan wajah lelah, seperti sedang ada masalah yang di hadapi. 

"Kita samperin?" bisik Bellona. 

"Iya, saya penasaran." Abdi berjalan cepat hingga tiba di teras rumah tanpa pagar itu. "Anda yang kemarin tantang saya tarung di ring. Siapa anda!" tegur Abdi tanpa permisi. Laki-laki itu diam, ia berbalik badan. Kedua beradu tatap. Tak lama, seorang perempuan sambil menggendong anak perempuan berusia setahun muncul. 

"Masuk, Chel," perintah lelaki itu. Wanita itu masuk ke dalam rumah, lalu pintu tertutup. Kehadiran Abdi diabaikan, ia kesal dan marah karena diabaikan sedangkan ia butuh jawaban. Abdi ingin mendobrak pintu, tapi dilarang Bellona. 

"Saya penasaran siapa dia, Lona," geramnya. Bellona menggelengkan kepala, ia mengajak Abdi pergi dari sana, kembali keluar jalan utama. 

"Saya pesan taksi online dulu, kita pulang. Sudah malam." Bellona mengeluarkan ponsel, ia segera memesan taksi online. 

Keesokan harinya. Saat Abdi tiba di kantor, ia mendapati ayahnya dan Eva sudah berada di dalam ruang kerjanya. Dengan malas ia harus meladeni kedua orang itu bicara. 

"Ada apa?" Abdi duduk dengan gagahnya di kursi, kedua siku bertumpu pada kedua lengan kursi sambil menyatukan jemarinya, tatapannya menatap lekat bergantian ke arah ayah juga Eva. 

"Kamu bangkrut?" ujar Sena. 

"Iya." 

"Solusi kamu, belum dimatangkan kenapa langsung ambil keputusan dan mana Bellona? Siapa dia, pacar kamu?" sindir Sena. Eva memalingkan wajah, mengulum senyum. 

"Udah putus," jawab Abdi sembari menarik napas dalam lalu menghembuskan pelan. "Langsung aja, Yah, mau Ayah apa? Abdi sudah bereskan masalah ini dengan cepat, bukan? Mau minta apa lagi sekarang? Abdi harus kembali ke kantor lama, di sana butuh Abdi. Ayah juga bisa kembali bekerja di sini." 

Sena menghela napas panjang, ia sadar tidak akan bisa meminta putranya terus memegang perusahaannya. "Kapan rapat RUPS?" tanyanya. 

"Secepatnya. Setelah penyidik kasih kabar, juga tentang pengurangan karyawan sudah selesai diurus." 

"Apa mereka nggak protes kamu rumahkan, Di?" Sena sangat penasaran. 

"Dengan bantuan Bellona, semua bisa cepat selesai. Juga, Bellona selidiki karyawan kita di kantor pusat siapa yang memang niat bekerja dan menjadi antek-antek pelaku kecurangan. Abdi minta satu hal ke Ayah, bisa?" 

"Apa?"

"Biarkan Bellona tetap kerja di sini, dia kompeten dan Abdi yakin dia bisa bantu perusahaan ini terus bergerak, asal ...," sejenak ia melirik ke arah Eva. "Tidak ada pengganggu." 

"Maksud kamu?" Sena masih tak paham. 

"Banyak orang yang tidak suka dengan Bellona, dia bukan orang jahat atau licik, justru dia mau perusahaan ini tetap jalan. Jabatannya tetap wakil komisaris, Ayah harus cari orang untuk duduki jabatan komisaris utama." 

"Nggak mudah cari komisaris utama, Di, makanya Ayah sejujurnya mau kamu tetap di sini. Untuk apa kamu kerja di perusahaan Felix kalau kamu punya perusahaan sendiri, perusahaan Ayahmu." Sena tetap bernegosiasi dengan anak sendiri. Abdi menatap bergantian ke ayah juga Eva. Wanita itu licik, Abdi harus hati-hati. 

"Lalu Eva, apa istri  Ayah ini terus minta sesuatu ke Ayah? Uang perusahaan tersisa sedikit, Abdi nggak mau Ayah boros. Keuntungan perusahaan Abdi akan putar untuk modal lagi kalau ... Ayah percayakan semua ke Abdi dan Bellona. Ayah bisa istirahat ditemani istri muda Ayah ini, bagaimana?" 

Sena tak mau banyak berpikir. Ia pun percaya jika uang pribadi Abdi habis untuk membayar pesangon karyawan yang di rumahkan. Padahal, seperti ini alurnya. Abdi meminta Bahtiar memanggil direktur keuangan juga manajer keuangan. Dua orang itu diminta datang ke pertemuan rahasia yang Abdi dan Bellona rencanakan. Saat itu, direktur dan manajer keuangan yang juga terlibat membantu Pak Widodo dan antek-anteknya korupsi, tidak ingin diberhentikan juga tapi, mereka mau menjadi saksi asal dilindungi. Abdi setuju. Kemudian, Bellona--dengan bantuan Poppy--mengatur arus uang perusahaan yang juga berdiskusi dengan direktur dan manajer keuangan. Laba perusahaan besar, tapi dianggap tidak ada sehingga uang itu bisa untuk membayar pesangon dengan mengatakan jika Abdi memberikan uang pribadinya untuk hal tersebut padahal hanya dipindahkan. Kenapa harus dikosongkan? 

Abdi dan Bellona tau, banyak orang pintat yang bisa cari tau hal ini dan tak mungkin ia melakukan kebohongan tanpa rencana matang untuk menutupi. Jadilah ia melibatkan beberapa orang asal, berkata jujur atas apa yang diketahui dan mau mengubah diri menjadi lebih baik dengan menjadi sekutunya. Mereka ingin perusahaan sehat lagi seperti semua, sehingga perlu bersandiwara. 

"Karena perusahaan sedang tidak baik kondisi keuangannya, maka, Ayah setiap bulan juga hanya mendapatkan gaji pokok, sesuai jabatan Ayah, tidak ada uang tunjangan dan bensin kendaraan." 

"Nggak bisa, dong! Hak Ayah kamu dapat uang jiri payahnya membangun perusahaan ini?!" tegur Eva. 

Abdi tertawa pelan, ia memainkan telunjuk dibibir bawahnya, hal itu membuat Eva diam, ia pernah merasakan bibir Abdi yang membuainya, walau berakhir Abdi mengakhiri dengan cepat karena ada rasa tak nyaman. Eva masih menunjukkan tatapan protes, sedangkan Abdi mengedikkan bahu, demi perusahaan Sena menyetujui keputusan putranya. 

"Satu lagi yang mau Ayah tanyakan," ujarnya. 

"Apa?" Abdi sudah siap mendengarkan, padahal belum tau saja jika Sena akan menanyakan hal sensitiv yang menjadi momok tersendiri baginya. 

"Kapan kamu nikah. Setahun lalu kamu gagal menikah dengan Renata sampai Ayah malu dan marah, sekarang Ayah mau kamu menikah. Tahun ini, secepatnya kalau perlu." Sena sungguh bernada serius, sedangkan Eva menatap tak percaya kesuami tuanya yang tegas meminta hal itu. 

"Abdi nggak bisa janji," ketusnya. 

"Kamu mau melihat Ayah mati sebelum kamu nikah, Abdi!" omelnya. Sena begitu garang, bahkan Eva sampai terperenjat kaget. 

"Abdi bukan seperti Ayah yang mudah nikah dan cerai lagi. Eva istri ke empat Ayah setelah pisah dengan Ibu, semua nggak ada yang bertahan sama Ayah. Abdi mau nikah karena cinta tulus dan itu sekali seumur hidup. Ah ... Abdi ingat, bagus Ayah bicara masalah ini. Abdi mau tanya satu hal yang dari dulu, dari Abdi kecil susah untuk diucapkan." 

Wajah Sena tegang, ia bahkan melirik ke Eva yang terkejut karena ia istri ke empat setelah kegagalan demi kegagalan Sena sebelumnya, karena yang ia tau, Sena tidak menikah lagi setelah cerai dengan ibu kandung Abdi. 

"Kenapa, Ayah cerai dari Ibu, sampai Ibu pergi ninggalin Abdi bahkan, sampai detik ini Ibu tidak ada kabar apa pun, sama sekali, sekedar untuk tanya keadaan Abdi. Padahal Ibu tau siapa Ayah, bukan? Apa ada rahasia yang Ayah tutupi? Ada apa?!" Nada Abdi meninggi. Eva menatap lekat suaminya. 

"Kamu bohong selama ini!" jeritnya. Mendadak kekacauan terjadi bukan tentang perusahaan, tetapi urusan pribadi. Sena terpojok oleh dua orang itu, ia tak bisa menjawab, hanya kebisiuan yang ia tunjukkan. 

bersambung, 


His Alterego ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ