Chapter.15

6.1K 467 26
                                    

Selamat membaca 🌵

"Kamu yakin?" lirih Bellona saat Abdi sudah merebahkan diri di atas sofa depan TV apartemennya.

"Saya yang beli sofa ini dan sudah saya ukur sama badan saya, 'kan, jadi aman." Abdi tersenyum namun dengan kedua mata terpejam. "Tidur sana, lumayan tiga jam," sambung Abdi. Bellona melirik jam dinding, sudah jam 3 pagi. Sedangkan ia biasanya jam 5 sudah bangun.

"Tanggung, saya nggak akan bisa tidur, jam lima biasanya udah bangun," tukasnya sambil berjalan ke dapur. Ia memilih membuat sesuatu untuk sarapan. Abdi mendengkus, ia memeluk guling dan terlelap.

***

Abdi membuka mata, dilihatnya jam sudah diangka sepuluh. Tubuhnya juga sakit, ia memang tidak akan masuk kerja, wajahnya pun lebam, bisa-bisa jadi bahan gosip di kantor kalau ia kerja.

Langkahnya sedikit sempoyongan, ringisan karena sakit bekas pertarungan semalam baru terasa sekarang.

Senyumnya merekah saat melihat makanan sudah tersaji juga kopi yang ada di mesin pembuat otomatis. Ia jadi teringat Renata, sipembuat kopi encer padahal sudah dengan mesin.

"Apa kabar Renata, ya?" gumamnya. Kedua mata Abdi menatap catatan kecil yang ada di dekat piring berisi nasi uduk dan telur.

Selamat sarapan, sorry kalau bisanya sediain ini. Saya beli di bawah, ternyata ada yang udah buka jam lima. Jangan berharap saya bisa masak. Sama sekali nggak bisa. Obatnya diminum, siang nanti saya pulang bawa makan siang kamu. Sarapan yang bikin, gagal, sorry, ya.

Senyum tipis mengembang diwajah Abdi, ia menuang kopi lalu menambahkan sedikit susu yang ia ambil dari kulkas. Tubuhnya bersandar pada pintu kulkas. Ia tertawa sendiri, lalu memegang dadanya. Berdebar.

Ponselnya berbunyi, ia segera mendekat ke sofa. Nama Felix muncul, jelas ini pertanda jika temannya mendapat satu informasi.

"Ya, apa yang lo dapat, Fel?" Segera Abdi bertanya. Ia membuka pintu kaca balkon, lalu duduk melantai sambil melihat ke arah gedung perkantoran dan lalu lalang orang-orang yang sibuk beraktifitas.

"Semalam, yang lawan lo itu, bukan orang jauh, Di."

"Siapa?" Abdi meneguk kopinya.

"Gue belum dapat nama, baru alamat aja dari kru. Dia daftar pakai nama palsu, tapi alamat dia kasih real. Sengaja gue rasa. Dia bawa-bawa nyokap lo berarti dia tau siapa lo, Di."

Abdi meletakkan cangkir, ia mendengkus. "Kasih alamatnya ke gue, gue cari. Fel, tolong kirim orang dari perusahaan, bikin tim investigasi sekaligus lo bikin rencana akusisi perusahaan bokap gue."

"Beneran jadi? Lo nggak main-main?"
Felix terdengar ragu.

"Nggak. Gue yakin. Bellona tau harus apa dan gue nggak mau dia perang sendiri. Satu lagi, gue bakal repotin lo banget."

"Apaan, Di?"

"Kosongin rekening gue, pindahin ke tempat lain. Terserah mau ke rekening lo, Grace atau siapapun."

"Kenapa di kosongin?!" Felix terdengar tak suka.

"Cuma sementara, gue mau ngegembel dulu."

"What! Lo kenapa! Ah, aneh, lo. Rekening pribadi?"

"Iya. Gue juga mau minta Pak Gun nggak usah antar jemput gue, gue mau--"

"Lo suka sama Bellona? Jatuh cinta sama dia? Lo mau bertindak diluar kebiasaan lo karena lo naksir berat sama dia?" Felix tembak langsung.

His Alterego ✔Where stories live. Discover now