Chapter. 3

9.1K 613 7
                                    

Selamat membaca 🌵

Berbohong, setiap manusia pasti pernah berbohong walau hanya satu kali, tidak ada manusia yang hidupnya seperti selembar kertas putih tanpa noda. Ah ... mungkin ada, bayi, sebelum sadar jika dunia ini akan banyak kebohongan juga kemunafikan.

Bellona pulang sudah sangat larut. Lampu di rumahnya masih menyala terang. Ia bersingut sebal, lalu mematikan saklar lampu ruang tengah, juga dapur.

"Emang yang bayar listrik mereka?" gumamnya seperti berbisik ke diri sendiri. Bapaknya tidur di sofa ruang TV yang kecil, sedangkan ibu sudah di kamar dengan AC menyala. Bellona masuk ke dalam kamar, ia buka lebar jendela kamar lalu menyalakan kipas.

Tidak ada AC di kamarnya, ia mengalah untuk ibunya. Mau beli lagi, siapa yang bayar listriknya? Semua dibebankan ke dirinya dengan alasan kedua orang tua yang tidak masuk diakal saat Bellona meminta uang listrik. Tak mau ambil pusing, ia bayarkan saja listriknya.

Tubuhnya ia hempaskan ke ranjang, Joker menang, hal itu bisa membuatnya tersenyum hingga kedua matanya terpejam.

Keesokan pagi, Bellona menyiapkan sarapan sendiri. Ibunya seperti biasa, sibuk berdandan padahal hanya ke pusat grosir. Katanya, sebagai penjual pakaian, harus tetap tampil cantik. Biar orang percaya kalau berdagang juga bisa sukses.

Iya, memang, tapi kemana uangnya? Sudah tiga tahun ini, tepatnya setelah Bellona lulus kuliah dan bekerja, tidak pernah minta sepersenpun uang bapak ibunya. Sekedar info, ia pun kuliah karena beasiswa bahkan mendapat uang saku karena prestasinya di kampus Management and Bussiness milik salah satu pengusaha terkenal Ibu kota. Kampus bonafit, bisa dilihat Bellona bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di jasa pembiayaan juga tapi sudah top level.

"Lona, kamu nggak mau ganti tas kerja? Bayarin punya Ibu, deh, Ibu baru beli seminggu lalu. Eh ... temen arisan pake juga. Murah, Lon, empat juta aja," bisik ibunya, tak mau terdengar suami.

"Enggak minat," jawab Bellona sambil mengaduk mie instan goreng buatannya.

"Ck. Kamu tuh, kerja ditempat bonafit, dandanan harus diperhatiin, dong, jangan sampai kamu kalah cari muka sama temen-temen kamu."

"Lona kerja cari uang, bukan cari muka. Apalagi cuma karena gaya, dan tampil sempurna terus bisa dapat posisi nyaman. Nggak, makasih," ketusnya.

"Ini anak dibilangin. Ibu, tuh, tau, Lona ... banyak temen-temen Ibu cerita kalau di kantor itu, banyak orang kerja bukan cari uang aja, tapi seringnya cari muka. Lagian ... sesekali nggak apa-apa, lah, Lon, cari muka sedikit. Siapa tau kamu cepet naik jabatan. Masa mau jadi staff terus." Ibu duduk di hadapan Bellona yang asik makan, tidak menggubris ucapan ibunya.

"Bapak berangkat, ya, mau antar bos ada meeting pagi-pagi. Lona, Bapak lupa, tagihan pajak rumah udah ada, belum dibayar, tolong bayarin pake uang kamu dulu, ya." Bapak pergi berlalu, Bellona terus menikmati sarapannya.

Diliriknya ibu tersenyum menatap dirinya. "Ada apa, Bu?"

"Bayarin ongkos taksi, dong, uang yang semalam mau Ibu simpan."

Bellona beranjak, ia mencuci mangkok mie instan goreng dengan cepat kemudian mengeringkan tangan dengan tisu dapur.

"Lona nggak ada uang tunai," jawabnya sambil berjalan keluar rumah.

"Bohong kamu. Pelit amat sama Ibu sendiri. Lona!" teriak ibunya dari dalam rumah. Bellona sudah keluar rumah dan berjalan kaki hingga ke depan jalan raya, ia akan naik ojek sampai stasiun kereta yang menjadi transportasi sehari-harinya.

Lain hal dengan Abdi. Lelaki itu menikmati sarapan dengan tenang sambil memantau grafik saham di macbook miliknya. Senyumnya merekah saat grafik yang ia inginnya sesuai harapan.

His Alterego ✔Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz