Chapter 28

4.5K 394 8
                                    

Selamat membaca (lagiii) 🌵

Bellona melirik ke arah ibunya yang tengah duduk santai sambil nonton serial drama korea. Di dalam hati, ia sungguh ingin marah, tapi ditahan. Ia ingin mencari tau lebih dulu.

"Beli makanan apa, Lona?"

Sok ramah, Bellona tak menjawab. Ia langsung menghidangkan nasi goreng ayam di atas piring lalu ia berikan ke ibu.

"Nasi goreng lagi? Di depan ada yang jual sate ayam, sate padang, bebek bakar?" Ibu menatap Bellona dengan tatapan bosan karena sudah beberapa kali Bellona membeli nasi goreng untuk makan.

"Uang Lona habis." Akhirnya ia nyeletuk, tapi sambil berlalu ke arah kamar mandi untuk mencuci wajah.

Saat ia kembali ke arah dapur, ibu mengikuti hingga berdiri di dekat kulkas. "Kamu jangan bohong sama Ibu, Lona, uangmu banyak. Ya, 'kan?" Ibu senyam senyum.

Bellona membuka bungkusan nasi goreng miliknya, ia tak menghiraukan ibunya. Ia membawa piring ke meja kerja di pojok dengan segelas air putih.

"Lon, minta seratus ribu, dong, Ibu mau beli makanan lain, ya, bosen nasi goreng terus. Kamu jangan pelit sama Ib--"

"Uang Lona habis, Bu! Lona besok mau bayar utang Ibu! Tujuh puluh lima juta! Itu uang tabungan Lona selama ini. Lona kumpulih dari SMA, sampai sekarang! Ibu kenapa, sih! Ada apa, Bu! Ibu pinjam uang untuk apa! Uang jual rumah ke mana!" Bellona meledak juga. Bibirnya bergetar, ia gigit pelan menahan tangis.

"Habis," jawab ibu lalu memalingkan wajah.

"Habis untuk apa! Harga rumah itu sembilan ratus juta, Bu, kalian berdua kuasai. Lona dan Kakak nggak dapat satu rupiah pun dan Ibu bilang habis?!" Bellona tak habis pikir. Napasnya naik turun tak beraturan.

"Utang Ibu banyak! Ibu harus bayar kios di pasa grosir, itu nggak murah! Bayar karyawan dan lainnya. Modal dagang, gaji karyawan! Kamu pikir murah!" Ibu justru lebih galak. "Jangan pelit kamu sama Ibu! Kalau bukan karena Ibu kamu nggak lahir ke dunia ini! Pacarmu juga kayak raya! Minta, dong, uang ke dia! Apa fungsi dia jadi pacar kalau nggak kasih kamu uang! Kamu juga ... jangan sok polos jadi cewek! Kasih pacarmu service supaya dia mau kasih kamu uang!"

"A-pa?! I-bu bilang apa barusan?" Bellona meneteskan air mata. "Seorang Ibu, bisa bilang seperti itu ke anak gadisnya?" Dengan derai air mata, Bellona bicara juga tertawa miris. Ia menarik air hidungnya. "Ibu minta Bellona jual diri kalau seperti itu."

Bellona membawa piring berisi makanan ke dalam kamar mandi, ia letakkan di meja wastafel lalu ia menangis histeris. Tekanan batinnya luar biasa. Bisa-bisanya ada ibu seperti itu.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, Bellona terpaksa makan di dalam kamar mandi. Setelah selesai dan tenang, ia berjalan keluar kamar mandi. Dilihatnya ibu sedang sibuk bicara dengan seseorang di ponsel. Bellona terkejut saat melihat tas kerjanya acak-acakkan. Dengan cepat ia mencari dompet. Tidak ada. Ia berjalan ke kamar dan melihat dompetnya tergeletak di sisi ibunya.

"Ibu!" tegur Bellona keras.

"Maaf, Lona, nanti Ibu ganti. Ibu beli makanan tadi." Wajah ibu menunjukkan ekspresi memelas. Tak mau ambil pusing. Bellona membuka lemari pakaian, ia mengambil baju kerja dan beberapa pakaian lainnya. Dengan cepat ia masukkan ke dalam tas besar lalu berjalan ke ruang TV untuk mengambil tas kerja.

"Lona! Mau ke mana!" teriak ibu. Bellona tak menggubris, ia ingin tenang. Buru-buru ia keluar dari sana lalu berlari ke arah lift.

Langkah kakinya semakin cepat dan lebar. Tangannya merogoh kartu lain lalu ia tempelkan. Dengan cepat membuka pintu unit apartemen tempat Abdi tinggal. Ia duduk di sofa, menumpahkan air mata lagi.

Bellona menghubungi Abdi, ia berharap kekasihnya belum tidur.
"Sayang," suara serak Abdi yang tampaknya terbangun dari lelapnya tertidur, justru membuat Bellona histeris hingga sesenggukan layaknya anak kecil.

"Lona, ada apa?! Kamu kenapa!" panik Abdi.

"Ab-di ...." Bellona sesenggukkan. Telepon terputus, berganti panggilan video. Wajah Abdi terlihat panik, apalagi saat melihat Bellona menangis. Namun, ia tenang karena Bellona ada di apartemennya.

"Ada apa, Lona? Cerita. Aku di hotel, kok. Ibu minta aku istirahat di sini. Ada apa?" tanyanya penuh kelembutan.

Bellona tak mau cerita, ia berusaha menenangkan diri. Dengan sabar Abdi menunggu tangis Bellona reda.

"Aku ... tidur di sini, ya," izin Bellona.

"Iya, di kamarku aja, jangan di sofa. Nyalain TV di kamar kalau terlalu sepi," ujar Abdi yang dijawab anggukkan kepala.

"Kamu kenapa? Bilang, jangan bikin panik. Lusa aku pulang, ya, Bima mau ke sini sama istri dan anaknya. Kebetulan hari jumat, pesawat sore. Aku pulang pesawat jam dua siang. Nanti hari minggu, Ibu udah bisa pulang. Semua baik dan stabil. Kita jemput Ibu di bandara. Ibu pulang bareng Bima dan keluarganya aku udah urus semua juga."

"Ibu ke Jakarta?"

"Iya. Aku minta tinggal sama aku di Jakarta, nanti cek kesehatan di rumah sakit di sana."

Bellona diam, ia malu jika nanti ibunya harus bertemu ibunya Abdi. Hal itu pasti akan terjadi lambat laun. Apalagi sifat ibunya yang tak tau diri dan suka melempar kesalahan ke dirinya. Bellona takut kelepasan emosi.

"Tidur aja kalau kamu nggak mau cerita, ke kamar, sana. Peluk guling, anggap aja aku," cengir Abdi. Bellona tersenyum. Ia beranjak, masih memegang ponsel menghadapnya karena masih melalukan sambungan telepon.

"Rapi banget kamarnya, kamu bersihin sendiri?" Bellona kagum melihat kerapihan kamar Abdi.

"Iya, dong. Aku bukan anak manja."

Bellona mengunci pintu lalu menyalakan TV dengan remot. Kedua matanya memindai sekitar lalu berhenti di foto dirinya dari arah samping.

"Kamu kapan foto aku?" Bellona mengarahkan layar ponsel ke pigura foto yang ada di meja kerja Abdi.

"Kapan, ya? Udah lama. Jimat ku itu," kelakarnya diakhiri tawa. Bellona mengulum senyum.

Ia naik ke ranjang, merebahkan diri. Abdi tersenyum. "Ranjangku beruntung, tuh, ditidurin kamu."

"Iri?" goda Bellona. Abdi menatap sayu sembari mengangguk.

"Makin nggak tahan aku kalau gini. Langsung aja yuk, Lon, kita nikah!" teriak Abdi. Bellona menggelengkan kepala.

"Nggak mau. No way!" tolaknya.

"Aku ...ditolak, Lon? Kamu tolak lamaran aku?" Wajah Abdi sendu.

"Bukan gitu. Orang tuaku, aku nggak mau bikin kamu malu, Di ...."

"Aku nggak akan malu dan akan dengerin kamu. Kalau mereka merengek bantuan, aku harus izin ke kamu dan kalau kamu Ok, aku jalani, kalau enggak, ya aku tolak. Aku mau hidup sama kamu dengan semua kebaikan juga keburukan hidup kamu, Lona. Kamu pikir, aku nggak dirongrong keluarga?"

"Maksudnya gimana?" Bellona menyamankan posisi tidurnya.

"Eva minta aku kirim uang empat ratus juta. Katanya mau buka usaha makanan sama temannya di Macau. Padahal, Ayah kasih tau aku kalau Eva terus minta uang untuk happy-happy sendiri. Ayah larang, Eva merengek."

"Terus?" Bellona mengernyitkan kening.

"Nggak aku kasih, lah. Aku kirim bukti chat Ayah ke dia dan dia nggak bahas itu lagi."

Bellona menarik napas dalam, lalu menghembuskan pelan. Ia akhirnya cerita ke Abdi tentang ibunya. Kekasihnya tak kalah terkejut, memang keterlaluan juga. Ia lalu meminta Bellona tinggal di unitnya dulu dan membayarkan utang ibunya.

Abdi memiliki ide untuk hal ini, ia yakin ibunya Bellona tidak akan bertindak seenaknya lagi.

bersambung,

His Alterego ✔Where stories live. Discover now