Chapter. 12

6.2K 478 6
                                    

Selamat membaca 🌵

Rutinitas membawa mereka seperti menjadi sosok lain yang tak tersentuh, Bellona sibuk membuat program pemasaran juga menginvestigasi secara langsung maupun tidak. Ia punya cara sendiri untuk mencari bukti kejahatan di perusahaan tersebut.

Ia mengantuk, dan butuh kopi sore. Jam sudah menunjukkan pukul lima dimana banyak karyawan sudah pulang sedangkan ia lembur. Beberapa laporan yang ia dapatnya membuatnya tak habis pikir dengan kinerja pemimpin di sana.

Terdengar suara gaduh juga keributan di dalam ruangan Abdi. Bellona menempelkan telinga ke pintu, hingga Bahtiar mengejutkannya dari belakang.

"Di dalam lagi ada tamu, kamu kalau mau bikin kopi, sana buruan," usir Bahtiar.

"Pak Bahtiar udah biasa dengar keributan begini? Siapa, sih, tamunya?" Bellona penasaran.

"Kamu mau banget tau?"

"Iya. Emang siapa?" Rasa penasaran membuat Bellona menempelkan telinga lagi yang membuat Bahtiar menarik tangan Bellona hingga ke pantry.

"Kamu nggak akan percaya kalau saya bilang siapa yang ada di dalam sana, Lon," ujar Bahtiar. Bellona meletakkan mug miliknya di atas meja pantry.

"Emang siapa? Saya penasaran Pak Bahtiar," bujuknya.

Bahtiar menoleh ke arah pintu. Ia menatap lekat Bellona. "Istri Pak Sena," jawabnya.

"Oh ... terus kenapa mereka gaduh banget?" Bellona memasukan kopi di kemasan ke mesin khusus, tak lupa meletakkan mug di tempat mesin itu, supaya air kopi langsung masuk ke dalam mug.

"Masalahnya, yang jadi istrinya Pak Sena itu, mantan pacar Abdi yang diusir Bibi di rumah. Ribet pokoknya," ujar Bahtiar masih berbisik.

"Hah? Kok ... bisa?" Bellona terbelalak.

"Kamu tanya sendiri ke Abdi. Saya muak lihat wanita itu di sini. Ini pasti perkara Abdi nggak ACC soal permintaan wanita itu." Bahtiar tampak berdecak. "Abdi bisa-bisanya kenal sama perempuan murahan kayak gitu."

"Gitu, ya ... hm ... saya coba bantu, deh." Bellona tersenyum, ia tau harus bertindak apa.

Kemudian, ia berjalan sambil membawa mug berisi kopi miliknya. Dengan santai ia membuka pintu ruangan Abdi. Wanita yang ada di dalam sana menatap sinis tak suka. Dres ketat merah yang kenakan wanita itu membuat Bellona mau muntal. Mual sekali melihat tipe perempuan seperti itu.

"Hai, kopi buat kamu," ujar Bellona sambil meletakkan mug berisi kopi. Abdi menatap bingung. "Ini ... istri Pak Sena? Ibu sambung kamu?" tunjuk Bellona.

"Siapa dia!" Wanita bernama Eva menunjuk Bellona.

"Saya Bellona, Bu, wakil komisaris perusahaan ini. Ibu ... masih muda, ya, cantik," pujinya terpaksa. "Ada keperluan apa Ibu ke sini? Bapak mana, Bu, saya belum berkenalan," cerocos Bellona.

"Apa? Wakil komisaris? Ayah kamu tau, Di? Jabatan apa, ini! Harusnya Pak Wibowo yang jabat, bukan--" lirikan penuh menghina ia tunjukkan ke Bellona.

"Pak Wibowo tidak kompeten," jawab Abdi. "Bellona lebih pantas," lanjut Abdi.

"Kalian ... ada hubungan apa?" Eva tampak curiga.

"Pacar," jawab keduanya kompak. Menghadapi sundal seperti Eva jangan tanggung-tanggung. Langsung hajar.

"Oh ..., selera kamu merosot, ya, Di. Putus dari aku, kamu dapat perempuan seperti ini?" sinis Eva.

"Perempuan macam apa maksudnya?" Bellona berjalan perlahan, mendekat ke Eva yang terlihat terintimidasi dengan tatapan Bellona. "Maksudnya perempuan mahir akuntansi, keuangan, marketing, jago bahasa asing, dan cerdas." Bellona menajamkan tatapannya. "Kamu udah buang Abdi demi Pak Sena, 'kan? Sekarang Abdi sama saya, nggak perlu kamu hina. Oh, lupa. Kamu minta dibelikan sesuatu di Madives sama Pak Sena, ya? Maaf, saya tolak. Keadaan perusahaan tidak aman. Bukannya memikirkan karyawan, malah boros uang. Pak Sena juga sudah tau penolakan ini, jadi ... pergi sana," usir Bellona tak tau rasa takut. Wanita di hadapannya mendengkus, tapi tak lama ia tersenyum sinis. 

His Alterego ✔Where stories live. Discover now