Chapter. 21

5.5K 408 11
                                    

Selamat membaca 🌵

Bellona tidak bisa menjawab, ia sendiri bingung. Maklum, sekalinya punya pacar, seorang pengusaha sukses. Wajar saja jika ia tak bisa memberikan jawaban.

"Yaudah, nggak apa-apa, nanti aja balasnya kalau kamu udah siap." Abdi tersenyum. Ia berjalan ke jendela dekat meja kerja, membuka pintu kemudian angin berhembus masuk ke dalam ruangan.

"Kamu bisa temani aku sekarang, ada pertarungan lagi," toleh Abdi.

"Sekarang? Abdi, udah malam dan besok kamu kerja. Lagian ngapain tarung lagi? Buat apa, Di? Apa nggak cukup kamu punya peralihan lain, kamu ikut balap mobil dan sekarang ada ... aku." Bellona menggigit bibir bawahnya, mendadak malu sudah terlalu percaya diri bicara seperti itu.

Tawa lelaki itu membuat Bellona kembali menatap ke arah sang pacar. "Sekali lagi aja, ada sesuatu di dalam diriku yang paksa aku untuk bertarung. Aku usahakan lawan hal ini."

"Alterego kamu?" cicit Bellona.

Abdi mengangguk. Ia meraih jemari tangan Bellona, ditempelkan pada wajahnya, lalu pindah ke dadanya. "Setiap manusia selalu punya dua sisi bertolak belakang. Hanya saja, ada yang mau menerima atau menepis. Aku salah satu yang menerima. Disaat aku jenuh menjadi seorang Abdinegoro, aku berubah menjadi Joker. Ada emosi dalam diriku yang teriak mendobrak minta keluar. Aku nggak bisa tahan lama-lama. Setelah ini, temani aku ke psikiater, aku takut lama-lama hal ini mengganggu."

"Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Bellona membingkai wajah Abdi dengan kedua telapak tangan.

"Nggak apa-apa, sedikit butuh pertolongan psikiater bukan hal buruk atau anggap aku gila. Bukan, Sayang." Mendengar itu Bellona mengangguk.

"Malam ini terakhir aku lihat kamu berdarah-darah dan mukulin orang, aku nggak mau kam--"

Abdi menyela dengan memberikan kecupan di bibir Bellona. "Janji, Lona, aku janji," ucapnya lalu memeluk erat Bellona. Dikhawatirkan seseorang yang penting di dalam hidupnya, membuat Abdi tak tahan untuk tidak mencium juga memeluk Bellona. Ia merasakan hidupnya berwarna. Pun, Bellona, ia membalas pelukan Abdi begitu erat. Tak mudah bagi keduanya menunjukkan ekspresi perasaan masing-masing, mereka anak yang terluka dengan cerita orang tua, beban yang seharusnya bukan menjadi urusan mereka, justru mereka jalani.

"Sayang kamu banget, Lona," bisik Abdi. Bellona mengangguk masih di dalam pelukan Abdi. Ia tak ingin melepas pelukan, rasanya begitu takut jika hal buruk terjadi pada kekasihnya.

***

Suara orang-orang yang memenuhi arena pertarungan membuat Bellona merinding dan takut. Felix sudah bilang jika dirinya tunggu di ruang ganti saja, tapi Bellona menolak. Ia mau menemani Abdi yang sudah digambar joker pada wajahnya. Bellona sendiri memakai sweater dan training hitam milik Abdi, kepalanya ia tutup dengan topi lalu tudung kepala. Ia tak nyaman menunjukkan wajahnya secara langsung.

Taruhan dimulai, bandar mengumpulkan uang tunai sambil berkeliling. Bellona berdiri di dekat pintu ruang ganti menatap Felix yang bicara serius dengan Abdi. Kekasihnya memutar badan, melihat siapa lawannya dan ia terkejut. Lelaki itu, yang kala itu menyebut ibunya.

"Abdi!" teriak Bellona mendekat. Abdi melompar keluar ring, menatap Bellona yang belum bicara sudah ia pahami.

"Aku tau, dia orangnya. Informasi harus aku dapatkan, tunggu aku di sini, ya," ujarnya lalu kembali masuk ke dalam ring. Abdi membuka kaosnya, ia berikan ke Felix. Sorakan serta gemuruh tepuk tangan terdengar riuh, apalagi para wanita, histeris saat melihat tubuh Abdi yang begitu keras berotot.

Bellona menunduk, ia gelisah. Pertama, karena tak suka tubuh kekasihnya dipertontonkan seperti itu. Kedua, karena penasaran siapa lelaki yang jadi lawan tarung Abdi.

Lonceng berbunyi, pertarungan dimulai. UFC ilegal itu benar-benar membuat Bellona takut. Ia mulai meringis saat melihat Abdi dengan wajah bengis mulai menendang lawan. Sosok Abdi sungguh hilang, berganti Joker. Bellona bergidik dibuatnya.

Sepuluh menit berlalu, Abdi sudah mendapatkan pukulan beberapa kali, tapi tetap tidak membuatnya mundur. Tangan kosong keduanya saling menangkis lalu memukul.

"Lo siapa!" bentak Abdi. Lelaki yang menjadi lawannya melihat kesempatan lengah seorang Abdi. Dengan gerakan cepat ia memukul perut dan rusuk lalu memendang. Abdi jatuh, lelaki itu memukul wajah Abdi hingga babak belur.

"Bangsat!" teriak lelaki yang menduduki Abdi lalu akan melayangkan satu pukulan lagi, tapi tertahan. Abdi terengah, keduanya saling menatap.

"Lo ... harus ingat kalau Ibu, rindu sama anaknya. Bajingan." Lalu satu pukulan membuat Abdi pingsan. Ia kalah, tapi ia ingat kalimat terakhir sang lawan.

***

Bellona menangis, ia kesal karena Abdi babak belur berakhir pingsan dan harus masuk rumah sakit. Pak Gun, Bibi dan Mbak Asih segera ke rumah sakit. Sedangkan Sena meminta polisi tidak mengusut kasus tarung liar ini.

"Kalian, benar pacaran?" tanya bibi berbisik setelah Bellona tenang. Gadis itu mengangguk. Bibi menatap Pak Gun dan Mbak Asih lalu tersenyum.

"Tuh, saya bilang apa. Abdi itu pasti jatuh cinta sama Bellona, saya menang taruhan, bayar," ujar bibi ke Pak Gun dan Mbak Asih yang memberikan uang lima puluh ribu ke tangan bibi. "Lumayan, bisa buat jajan bakso," kekehnya.

Bellona tersenyum tipis. "Bibi yakin Abdi kapok. Kamu nggak apa-apa, 'kan? Terguncang banget."

"Saya takut Abdi kenapa-kenapa, Bi. Babak belur gitu," tutur Bellona.

Bibi mengusap punggung Bellona. "Abdi anak kuat, kamu jangan khawatir. Ayo pulang, kami antar, ya." Bibi beranjak, Bellona ikut berdiri. Ia izin masuk ke kamar rawat, hendak pamit ke Abdi.

Ia melihat Abdi sedang bicara dengan Sena dan Felix setelah sebelumnya bicara dengan polisi.

"Maaf, saya pamit pulang," ujarnya pelan. Sena mengangguk, pun Felix. Tetapi tidak dengan Abdi yang menahan dengan meraih jemari tangan Bellona.

"Besok aku kerja, nggak mungkin di sini," cicit Bellona. Abdi melepaskan genggamannya, lalu tersenyum tipis.

"Cepat sembuh, aku pulang," pamitnya. Abdi mengangguk pelan. "Pak Sena, Felix, saya pamit, selamat malam," tukas Bellona pelan. Kedua lelaki itu mengangguk. Bellona membuka pintu namun, terhenti karena Sena memanggil.

"Yang sabar dengan sikap anak saya satu-satunya ini, Bellona. Terima kasih sudah menerima Abdi."

Kalimat Sena membuat Bellona tersenyum lebar, lelaki itu memberi restu, padahal awalnya Bellona pikir akan susah.

"Hati-hati," lanjut Sena lagi.

"Baik, Pak, permisi." Bellona berjalan keluar kamar rawat. Sedih berganti senyuman, ia menjadi tak bisa menutupi perasaannya hingga digoda Pak Gun, Bibi dan Mbak Asih.

Setibanya di apartemen, Bellona kaget karena mulutnya di bekap seseorang dari arah belakang. Ia membawa Bellona masuk ke dalam unit apartemen lalu berlari ke dapur meraih pisau. Ia acungkan ke pria yang membekap mulutnya.

Pria itu menatap Bellona lekat, hingga kedua matanya terasa mau melompat.
"Nggak mungkin ... nggak, kamu ...." Pisau di tangan Bellona terlepas, ia membekap mulutnya sendiri.

bersambung,

Hei ... hei ... siapa diaaaa ...

His Alterego ✔Where stories live. Discover now