Chapter 29

4.8K 417 5
                                    

Selamat membaca 🌵

Abdi pulang, mereka bertemu di Bandara. Rentangan tangan Abdi disambut Belloha yang langsung masuk ke dalam pelukan. Kedua lengan kekar keras di dalam itu melingkar dikedua bahu Bellona.

"Ayo, pulang," ajak Abdi. Bellona mendongak, lalu melepaskan diri.

"Pulang ke mana? Aku masih harus ke kantor, izin sebentar dan bilangnya mau ketemu klien. Kita harus ke kantor, Di," kata Bellona dengan raut wajah memaksa. Tarikan kedua sudut bibir Abdi yang membuat lengkungan ke atas, menjadi jawaban lelaki itu.

"Kamu naik apa ke sini?" Abdi menggenggam jemari tangan Bellona lembut.

"Taksi," jawabnya. "Pak Gun udah di parkiran, tadi kabarin aku," lanjut Bellona lagi.

"Ok. Lona, sebentar," ucapnya. Mereka berhenti melangkah. Saling bertatapan lalu Abdi tersenyum merekah.

"Apa?" Bellona tak paham.

"Ibu kamu masih ditempatmu, 'kan? Aku mau bicara sama Ibu."

"Mau apa?! Jangan macem-macem, Di," dengkusnya.

"Aku mau bikin perjanjian sama Ibu, pokoknya semua beres. Aku mau mulai buka hubungan kita. Nggak peduli banyak orang mencibir atau apa pun, kamu itu pantas ada bersamaku, berdiri di sampingku dan jadi orang penting dihidupku."

Bellona diam, terlihat rasanya bagai mimpi bisa menjadi wanita seperti itu dihati Abdinegoro Byakta.

"Ayo, kita ke kantor, pulang nanti ketemu Ibumu." Abdi kembali berjalan dengan tetap menggandeng tangan Bellona.

Mereka tiba di kantor, berjalan terpisah karena Bellona masih sungkan menunjukkan statusnya. Abdi melepaskan jas lalu ia berikan ke Bahtiar yang sibuk menjelaskan jadwal sore itu.

Abdi meminta Bahtiar memanggil Bellona ke ruangannya, mereka harus bicara bertiga.

Ngomong-ngomong soal Bahtiar, duda anak satu itu bebas dari hukuman, pengacara Abdi membela mati-matian karena Bahtiar memang terpaksa membantu kejahatan yang dilakukan tikus-tikus perusahaan. Akhirnya, Bahtiar tidak dihukum, tapi ia dilarang bepergian keluar negeri selama dua tahun. Tidak masalah, yang penting ia tidak di penjara.

"Pak Ab--"

"Abdi, aja," selanya.

"Ok. Di, project pembangunan mal, hypermarket dan area bermain anak sudah dapat tiga investor besar. Nilainya nggak main-main, lo yakin mau lanjut?"

Abdi membaca salinan laporan, total biaya yang dikeluarkan mencapai 50 M, untuk bagiannya, sedangkan 3 investor lain masing-masing ada yang 40, 60, dan 30 M.

"Analisa lokasi, gimana?" tanyanya. Bellona masuk, ia berjalan sambil membawa hasil analisa bisnis bersama timnya.

"Di, resikonya besar. Batalin, ya, nih, lihat." Bellona membuka map yang ia bawa di hadapan Abdi. Lelaki itu mengusap dagu, ia berpikir keras. "Kalau mau, ubah jadi mal yang multifungsi. Maksudnya, di salah satu sudut atau beberapa titik, ada ruangan seperti ball room, yang bisa disewa untuk konser, pernikahan, acara ulang tahun, pameran. Nah, disaat nggak di sewa, pengelola harus rajin bikin acara bazar UMKM atau event makanan dan produk lain. Harga sewa jangan terlalu mahal. Kita bisa mempekerjakan karyawan yang udah di PHK kemarin, untuk kerja kelola mal ini nantinya. Ada beberapa dari mereka cuma jadi korban ikut-ikutan temennya, padahal kompeten kerja. Kita bikin nama perusahaan baru, tetap dibawah pengawasan perusahaan ini. Jadi--"

"Perusahaan kita punya nama lain dan walau kecil bisa buka lapangan kerja untuk orang banyak," sela Abdi.

"Iya. Lalu, setelah ini berjalan dari awal pengoperasian, setelah pelan-pelan laba masuk. Kamu bisa bikin water park seperti yang kamu cerita ke aku. Anak-anak diluar sama butuh little disney land, 'kan? Ini nilainya bisa lebih besar dari mal ini, tapi bisa panjang. Contoh, Dufan, puluhan tahun tetap berdiri, 'kan? Yang susah itu bukan membangun, tapi mengelola. Aku tau siapa yang cocok pimpin project ini nantinya." Bellona bersedekap sambil tersenyum tipis.

His Alterego ✔Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ