Chapter. 5

8.2K 600 12
                                    

FYI, saya ganti judulnya yang lebih ringkas ya ... jadinya His Alterego.

_______

Selamat membaca 🌵

"Rahasiakan siapa saya," pintanya saat mereka akan berpisah.

"Iya," jawab Bellona lalu memutar tubuh, ia berjalan ke arah rumahnya, sedangkan Abdi sudah janjian dengan Felix akan dijemput di suatu tempat.

Abdi berwajah masam, sial juga karena jati dirinya terbongkar, walaupun oleh Bellona. Tetap saja ia merasa tidak nyaman, sesungguhnya.

Bagaimanapun, nasi sudah menjadi bubur, ia hanya bisa terus memperingatkan gadis itu supaya tidak keceplosan.

Hari berganti, pertemuan mereka membahas tentang pekerjaan dilakukan di rumah mewah ayah Abdi. Kali pertama Bellona kesana, disambut tatapan terkejut para pekerja, apalagi bibi. Ia tidak tersenyum sama sekali, tapi Bellona tidak masalah.

Ia duduk di meja makan besar tempat dirinya memeriksa laporan, saat pulang, taksi akan dipesan Abdi, dibayarkan juga. Intinya, lelaki itu menepati janji.

Kini, malam ketiga ia bertandang ke rumah Abdi. Ia datang dengan taksi yang dibayar sendiri. Nanti ia akan laporan ke Abdi.

"Permisi," sapanya sambil membuka pintu. Bibi mulai menyambut.

"Abdi belum pulang, tapi kamu diminta langsung ke meja makan aja."

"Oh, iya, terima kasih, Bi," tukas Bellona. Ia tidak menatap sekitar, seolah tak peduli dengan barang mewah yang dimiliki Abdi.

"Mau minum apa? Teh lemon lagi?" tawar bibi.

Bellona tersenyum, "apa aja, Bi, terima kasih banyak." Ia membuka laptop lalu mengeluarkan map yang berisi lembaran cetak hasil rekapan laporan yang ia simpulkan.Dengan spidol merah ia tandai hal yang mengganjal, supaya Abdi tau persis.

Bibi membawakan teh lemon hangat beserta kue tiramisu yang sudah dipotong. Bellona tersenyum seraya mengucapkan terima kasih.

"Boleh Bibi tanya?"

"Boleh, apa, Bi?"

"Bellona, kerja?"

"Iya. Saya kerja, Bi. Di perusahaan pembiayaan, bagian akunting." Bellona tersenyum.

"Terus, ini apa? Maksudnya yang kamu kerjakan, apa benar kamu timnya Monita?" Bibi mencecar.

"Iya, saya anak buahnya Monita, tapi nggak di kantornya, saya kerja lepas. Kalau ada proyek seperti ini aja saya kerjakan."

"Oh, gitu. Udah nikah belum?" Pertanyaan bibi membuat Bellona tertawa.

"Apa saya kelihatan sudah menikah, Bi?"

Bibi mengedikkan bahu, ia masih berdiri di sisi meja makan dekat Bellona.

"Belum, saya masih dua enam tahun, belum mau mikir ke arah sana. Masih banyak urusan," lanjutnya.

"Oh, syukurlah," gumam bibi. Ia lalu pamit ke dapur, di sana sudah ada Pak Gun dan Asih yang menunggu laporan bibi.

"Gadis baik, nggak kelihatan mau manfaatin Abdi, apalagi anak bandel. Dia anak buahnya Monita. Aman kalau gitu," bisik bibi. Pak Gun dan Asih merasa lega hingga mengusap dada.

Jam menunjukkan angka sembilan, Abdi belum pulang, pun Bellona yang masih memeriksa. Lima belas menit kemudian, Abdi datang, hari itu ia mengemudi sendiri.

Langkahnya begitu lebar, wajahnya tampak marah dan setelah melepas jas, ia lempar. Abdi juga menendang meja hingga vas bunga diatasnya jatuh pecah.

"Abdi!" teriak bibi. Abdi diam, ia mengatur napasnya yang memburu dengan penuh emosi. Bellona berhenti mencatat, ia menoleh menatap Abdi yang seperti bukan sosok dirinya. Lelaki itu beranjak, ia berjalan ke arah pintu kaca, menyeberangi taman lalu masuk ke ruangan lain.

His Alterego ✔Where stories live. Discover now