Chapter. 14

5.8K 455 7
                                    

Selamat membaca 

Bellona masih terus menatap Abdi yang tersenyum ke arahnya, berjalan pelan yang ditangkap Bellona seperti adegan slow motion pada film. Anak wanita malam? batin Bellona masih terus terngiyang ucapan Grace.  Bellona tersadar setelah Mbak Asih menepuk bahunya, ia menghidangkan puding. 

"Terima kasih, Mbak," ucapnya lalu kembali duduk tegap. Abdi duduk di sebelahnya, meja makan terasa banyak orang pada akhirnya dan hal itu membuat Abdi senang. Senyumnya terus merekah, bahkan ia sesekali mengusap kepala Gerald yang sudah kelas lima SD. 

"Saya harus pulang, udah kemalaman, Di." Bellona beranjak. Abdi menyusul, ia juga berdiri dari duduknya lalu menawarkan diri mengantar gadis itu pulang ke apartemen. Felix mengulum senyum, menatap perubahan Abdinegoro Byakta yang tak pernah bersikap hangat seperti ini. Ia berpikir, sudah saatnya Abdi menemukan seseorang yang mampu melengkapi hidupnya. 

"Ngerepotin kamu, Di, saya bisa naik taksi," tukas Bellona sambil berjalan ke luar rumah, area pekarangan yang luas. 

"Nggak. Sebentar saya ke garasi. Kamu tunggu di sini." 

Bellona tak bisa menolak, ia berdiri di halaman depan rumah menunggu lelaki itu datang dengan mobilnya. Suara Grace terdengar memanggil, Bellona menoleh. "Ada apa, Grace?" 

"Bellona, yang tadi aku bilang ke kamu, tolong jangan sampai Abdi tau. Aku nggak tau kalau Abdi belum cerita ke kamu karena yang tau hal ini cuma orang dekat dia aja. Aku pikir kalian udah dekat dan, jadian. Pacaran maksudku. Tadi Felix bilang kalau kalian sandiwara tentang hal itu, please, jangan biarkan dia tau kalau aku udah bilang tentang Ibunya, ya. i'm sorry," melas Grace. 

"Iya, tenang aja. Aku juga nggak akan tanya-tanya ke dia, Grace, kecuali dia mau cerita. Aku bukan orang yang mau tau privasi orang lain apalagi nggak ada kepentingan." Senyum Bellona membuat lega hati Grace, ia kembali masuk ke dalam rumah. Tak lama mobil sedan warna hitam itu berhenti tepat di depan Bellona. Ia membuka pintu lalu duduk di dalamnya. Menyapa Abdi dengan senyuman sebelum memasang seatbelt. 

***

Tidak ada yang terjadi dimalam saat Abdi mengantar Bellona pulang. Malam pertama tinggal di apartemen, membuat hati gadis itu bahagia bukan main. Bahkan, tidak terasa sudah tengah malam dan ia masih merapikan  pakaian dari koper ia pindahkan ke lemari. Ponselnya berbunyi, ia buru-buru meraih dari atas ranjang. Panggilan video. 

"Hai," sapa Bellona riang. Wajah Abdi muncul di layar ponsel. "Sebentar saya taruh HP saya supaya ngobrolnya enak," cengirnya lalu meletakkan ponsel di atas ranjang dengan ganjalan buku miliknya. 

"Besok lagi, Lon, beresin bajunya. Buru-buru banget," celetuk Abdi yang saat melakukan panggilan video juga sambil memangku macbook. 

"Apa bedanya sama kamu. Besok lagi, Di, kerjanya. Kamu nggak capek?" balas Bellona sambil merapikan pakaian ke lemari sambil sesekali menatap Abdi. 

"Dikit doang. Saya nggak suka nunda kerjaan. Ini bukan perusahaan punya Ayah saya, tapi perusahaan Felix," ujarnya ringan. 

"Felix? Punya perusahaan? Berarti itu bukan rumor, ya. Aku dengar dari orang-orang di kantor kalau perusahaan itu sebenarnya punya kamu, tapi kamu nggak mau terlihat menonjol dan jadinya Felix yang namanya terpampang sebagai pemilik." Bellona menatap layar ponselnya. 

"Punya Felix. Saya komisarisnya. Sama, lah, kayak di tempat Ayah saya. Lon, saya ada ide." 

Bellona duduk melantai, kepalanya menoleh ke atas layar ponsel lagi. "Ide apa?" 

"Kita bisa merger atau akuisisi perusahaan Ayah. Gini, Felix bisa beli saham perusahaan sampai lima puluh persen lebih, yang artinya, kepengurusan perusahaan akan lebih banyak dari orang-orang Felix, termasuk aku." Abdi diam, ia menanti respon Bellona. 

His Alterego ✔Место, где живут истории. Откройте их для себя