Chapter. 6

7.8K 525 3
                                    

Selamat membaca 🌵

"Pindah! Kemana! Nggak boleh!" larang ibu, sedangkan bapak hanya bisa duduk sambil menyeruput kopi.

"Emang kenapa, Bu? Lona udah besar, udah dua puluh enam tahun," bujuknya.

"Kamu anak perempuan. Nggak ada ngekost sendiri apa pun alasannya." Ibu tetap menolak.

Pandangan Bellona sudah mengembun, ia tetap menatap ibunya yang duduk gelisah berseberangan dengannya. "Bu, anak Ibu dan Bapak dua, Lona dan Kak Agas, tapi kenapa Lona yang dilarang keluar dari rumah? Kak Agas boleh dan sudah tiga tahun lebih nggak pulang, kenapa Lona nggak boleh! Lona bisa jaga diri sendiri. Selama ini juga begitu, 'kan?!"

Ia marah, tanganganya menyugar rambut panjangnya sambil memalingkan wajah. Tak lama ia tersenyum sambil mengangguk.

"Oh ... Lona tau, ini karena Bapak dan Ibu takut nggak Lona kasih uang? Iya?" tatapannya berubah menjadi amarah, air mata turun membasahi kedua pipi. "Lona tetap kirim uang untuk kalian berdua yang seharusnya tidak perlu. Gaji Lona udah dipotong untuk bayar utang Ibu di bank, tiga juta setiap bulan dan masih setahun lagi. Bapak juga Lona kasih satu juta sebulan. Apa itu masih kurang? Sedangkan Bapak dan Ibu bekerja, punya uang sendiri. Lona capek terus dirongrong kalian. Capek ... Bu ... Pak ... capek!" jeritnya dengan derai air mata, ia menangis begitu sedih menjadi orang yang harus menghadapi sendiri sikap orang tuanya.

"Lona akan pindah dari sini secepatnya. Terserah kalian setuju atau nggak. Lona juga mau cari Kak Agas, seenaknya sendiri lepas tanggung jawab, korbanin Adeknya. Nggak adil!" teriaknya sambil berlalu masuk ke dalam kamar.

Kedua orang tuanya saling menatap. "Salahmu, Pak. Bisanya judi ... terus." keluh Ibu kesal.

"Kamu, Bu. Sadar. Pentingin dandan dan beli ini itu, habis uang dagang kamu untuk beli ini itu dan arisan." Bapak juga menyalahkan.

"Emang kenapa?! Nggak boleh? Ibu juga mau senang-senang! Emang uang judi Bapak banyak! Seringnya juga kalah! Tinggal tunggu ditangkap polisi!" maki ibu tak kalah emosi.

"Hati-hati kalau ngomong, Bu!" bentak bapak, dan percekcokan pun terjadi lagi. Di dalam kamar, Bellona hanya bisa meluapkan dengan air mata, ia duduk di atas ranjang sambil memeluk kedua lutut. Lelah, begitu yang ia rasa. Psikisnya teriris jika terus seperti ini.

Bellona tau, kedua orang tuanya bukan orang tua yang pada umumnya, menyayangi anak juga melindungi, atau sekedar menemani belajar juga mengerjakan PR. Mereka tidak begitu, Bellona dan Agas, mereka belajar semua sendiri, hanya guru di sekolah yang menjadi pengajarnya.

Sejak kecil, kedua kakak beradik itu apa-apa sendiri. Ibu hanya memasak makanan, menemani makan di meja makan pun tidak. Kemandirian yang dilakukan sejak dini, membuat Bellona dan Agas lebih banyak diam jika di rumah. Sedangkan diluar, bermain dengan teman sebaya tapi tak dekat, karena mereka anak dari keluarga yang normal, hal itu membuat keduanya minder sehingga memilih di rumah. Belajar sendiri dengan meminjam buku dari perpustakaan sekolah.

Laptop ia buka, mengalihkan pikiran dirasa lebih tepat. Seharusnya, hari itu--tiga hari setelah menerima tawaran Abdi--Bellona sudah pindah ke kosan, sayangnya izin masih tak ia dapat. Nekat, bisa saja. Namun, ia masih menghormati orang tuanya sampai detik ini.

Jemarinya mengetik materi yang akan ia presentasikan di depan Abdi. Lelaki itu tidak menghubungi juga sejak kemarin, entah sibuk di kantor atau sedang bertarung di ring yang lokasinya dirahasiakan. Untuk balapan liar, Abdi bilang akan mundur, musuhnya pasti mulai mencari titik kelemahannya.

Jika kedoknya terbuka sebagai pembalap liar, pastilah nantinya popularitas dirinya di dunia bisnis akan anjlok dan berpengaruh kemana-mana. Setidaknya, salah satu kesenangan dengan memakai nama Joker harus dikorbankan.

His Alterego ✔Where stories live. Discover now