Chapter. 4

8.8K 606 17
                                    

Selamat membaca 🌵

Bellona sudah berdiri di depan pintu kedai kopi tempat mereka janji bertemu. Ia tak langsung masuk ke dalam karena sedang bicara dengan ibunya di ponsel.

"Apa lagi, Bu ... Lona nggak punya uang. Gaji Lona udah buat cicil pinjaman Ibu dan Bapak di bank, masih setahun lagi, sisa gaji Lona untuk Lona sehari-hari, Ibu punya usaha sendiri, 'kan? Kenapa masih suka minta ke Lona, Bu ..., jangan bilang Lona pelit, Lona--"

Tut ... tut ... tut ...

Ia menatap layar ponsel lalu mendesah kesal. Tangannya mendorong pintu kedai kopi, segera ia memesan coffee latte panas. Uang lima puluh ribu ia berikan, lalu menerima kembalian sepuluh ribu.

Bellona duduk, ia mengeluarkan laptop dari dalam tas, membuka catatan yang akan ia gunakan untuk bahan analisanya. Rambut panjangnya ia biarkan tergerai, enggan menguncirnya karena dirasa tak perlu.

"Kak Bellona, ini pesanannya," ujar pelayan tak lama setelah ia memesan.

"Terima kasih, ya," balasnya.

Bellona kembali membuat catatan kecil, ia ketik cepat dengan jemari tangannya.

"Sorry, terlambat," suara itu membuat Lona mendongak.

"Nggak, kok, saya juga baru sampai," tukasnya lalu meminta laporan ke Abdi. Pria itu memberikan USB, kemudian beranjak lagi untuk memesan minuman.

Bellona memeriksa laporan singkat yang tersimpan di USB tadi. Ia juga mengeluarkan buku catatan kecil. Dengan cepat ia mulai memilah masalah dari yang sederhana sampai rumit.

"Total karyawan ada berapa? Di pusat maksudnya, karena perusahaan ini bergerak di retail, kita nggak perlu data karyawan yang tersebar di luar. Intern aja." Bellona menatap Abdi.

"Sedikit, tiga ratus, karena memang cukup banyak yang diurus jadi team work tial divisi dipecah lagi."

"Rate gaji rata-rata berapa?" tanya Lona sambil mencatat.

Abdi tertawa pelan. "Saya minta kamu jadi marketing consultant,  bukan bisnis."

"Ini termasuk, Pak Abdi ... saya harus tau dulu, karena ini masuk ke biaya yang akan dikeluarkan perusahaan. Untuk marketingnya banyak cara bisa dilakukan. Hypermarket perusahaan ini ada 50 outlet di seluruh Indonesia, belum lagi bioskop, mini market yang hitungannya ribuan tersebar, bakery, departemen store. Setiap unit usaha harus punya cara marketing yang beda, nggak bisa disama ratakan atau dipilih mana yang diutamakan mana yang tidak. Hal ini supaya tiap unit usaha bisa kasih laba ke perusahaan dengan maksimal dan seiring sejalan. Jadi tidak kayak sekarang yang tumpang tindih. Unit H pendapatan minus, modal promosi ditutup dari unit A, dan seterusnya. Ini nggak bisa." Bellona menjelaskan dengan cepat. Abdi tersenyum.

"Saya mau ketemu sama tim marketing dan manajemen resiko, bisa?" pintanya.

"Nggak. Nanti mereka tau kamu. Ini bahaya." Abdi menolak dengan cepat. "Kalau kamu butuh data dari dua divisi itu, saya bisa kasih, tapi kamu akan lama pelajarinya dan nggak bisa di sini. Kita pindah lokasi."

"Di mana?"

"Rumah saya. Di sana tempat paling aman."

"Oke. Tapi ongkos taksi saya, Pak Abdi yang tanggung."

"Nggak masalah." Abdi melipat tangan di depan dada. Bellona mendengkus, ia kembali membaca laporan dengan Abdi yang sibuk membalas chat dari Felix karena ada pertarungan lagi. Abdi gelisah, ia jam 9 sudah harus ada di arena sedangakan jam 7 masih bersama Bellona.

"Apa masih lama? Kamu bawa aja USBnya," ujar Abdi.

"T-tapi, Pak, saya ...." Abdi berdiri, ia berjalan meninggalkan Bellona dengan cepat. Gadis itu hanya bisa menghela napas sambil mengerjakan pekerjaannya lagi. Kedua mata Bellona menatap ice chocolate coffee yang belum diminum Abdi. "Orang kaya, buang-buang duit bisanya," gumamnya.

His Alterego ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang