Chapter. 16

5.8K 463 4
                                    

Selamat membaca 🌵

Suasana kantor kisruh, semua orang mendapat email jika akan ada pengurangan karyawan. Rencana mulai berjalan. Bellona baru tiba di kantor, semua orang menatapnya tajam, ia peduli? Tidak, lah. Dengan santai juga dagu terangkat plus, melirik tajam ke beberapa orang, ia tetap berjalan menuju ruangannya.

"Bellona!" Panggil direktur marketing, Bellona menoleh, menahan pintu yang hendak ia dorong ke dalam.

"Maksudnya apa?!" Pria dengan wajah penuh amarah menatap Bellona garang. Rambut yang sudah menipis hampir botak, membuat penampilannya menunjukkan betapa tertekannya ia.

"Bukan saya yang ambil keputusan, tapi Pak Abdi," jawab Bellona santai.

"Apa sudah dibicarakan lebih lanjut? Tidak ada solusi lain?!" Nada tinggi disuarakan lelaki itu. Bellona menggelengkan kepala.

"Tim marketing paling banyak orang dan kalian mau memangkas enam puluh persen, yang artinya dari empat puluh orang staf saya, harus saya rumahkan dua puluh empat orang! Gila kamu! Saya menolak!" bentaknya.

"Pak Abdi sudah datang, sedang meeting dengan orang HRD, silakan bergabung, bisa suarakan langsung ke sana, bukan saya." Bellona mendorong pintu ke dalam, ia melangkah masuk, baru satu langkah, pria itu kembali bersuara.

"Jangan mentang-mentang kamu pacarnya Pak Abdi bisa intervensi dia, ya! Sombong sekali kamu!" Pria itu berkacak pinggang. Bellona tak acuh, ia berjalan masuk ke dalam ruangannya.

Kemudian, terlihat semua karyawan lantai itu berbisik di kubikel masing-masing. Bellona masa bodo, ia duduk di kursinya, mengeluarkan ponsel lalu menyalakan laptop. Ia mengirim pesan chat ke Abdi yang isinya , 'Rencana ke satu, done, giliran kamu, Di.' 

Bellona menghela napas, ia begitu kerja keras demi uang yang akan diberikan Abdi. Lelaki itu juga sama, ia berjuang mencari sosok laki-laki yang tarung dengannya malam itu. Rumah yang ia datangi, kosong, kata tetangga lelaki itu pergi dan nanti akan kembali setelah lima hari seperti biasanya.

Pikiran Bellona juga terpecah ke lelaki itu. Siapa dia? Hal itu semakin menambah rasa penasaran.

Hari berganti, tepatnya dua hari kemudian. HRD langsung gerak cepat, merumahkan orang-orang yang harus dikorbankan, Bellona sendiri selalu disindir dan hina karena menjadi pacar Abdi, padahal itu hanya pura-pura. Intinya, semua orang termakan rumor yang beredar.

Semua karyawan kantor pusat ketar ketir, karena rasa khawatir yang luar biasa dirasa. Wajah-wajah pucat, panik, bingung, semua terpancar. Terlebih, bagi mereka yang kerjanya minim tapi menuntut gaji maksimal, sungguh tidak bersyukur karena banyak diluar yang mengincar posisi kursi kerja mereka di kantoran.

Semua orang mendapat email baru, yang meminta semua karyawan berkumpul di ruang pertemuan. Bellona mengunci pintu ruangannya, ia sudah berjaga jika ada hal tidak diinginkan terjadi. Bisa saja ada penyusup yang mencari sesuatu di ruangannya.

Abdi sendiri sudah tidak memakai setelan jas mahal, ia tampak santai dengan memakai kemeja dan celana bahan, bahkan ia gulung kemeja hingga siku. Rambut ia acak-acak. Semua sengaja, sesuai rencana ke dua.

Semua sudah berkumpul, Abdi berdiri di depan, menghadap semua karyawannya.

"Dengan sangat menyesal saya harus menyampaikan ini, sekaligus permintaan maaf saya karena harus mengambil keputusan terberat. Terpaksa ... saya harus merumahkan lebih dari separuh total karyawan yang ada. Kondisi keuangan tidak baik, dan kalian kena imbasnya termasuk ... saya." Abdi menunduk, wajahnya muram, pintar sekali bersandiwara.

"Saya sudah serahkan uang pribadi saya untuk memback up titik yang lost karena aliran dana perusahaan tidak bisa mencukupi. Bellona," panggilnya. Bellona berjalan mendekat, berdiri di sebelah Abdi dengan memasang wajah dingin seperti marah.

His Alterego ✔Où les histoires vivent. Découvrez maintenant