Chapter. 31

5K 392 4
                                    

Selamat membaca 🌵

Bellona hanya bisa melamunkan nasib dirinya, oh, bukan ... tepatnya kelanjutan mencari siapa jati dirinya. Setelah Agas menceritakan semuanya, ia tidak tau harus dimulai dari mana menata sejarah hidupnya.

"Lon, gue pergi tiga tahun lebih ini, nggak ada niat buruk. Gue salah simpan rahasia ini sendirian, tapi gue punya alasan. Sayangnya semua harus terungkap lebih cepat sekarang.

Gue pribadi serahkan ke elo. Ini alasan kenapa lo nggak dapat uang jual rumah dan ini juga hal mendasar kenapa Bapak Ibu begitu. Gue akan egois untuk nggak bilang ke keluarga besar istri gue tentang kondisi Bapak. Gue kecewa, biar Bapak dapat balasannya hidup kayak gini di panti sosial. Gue durhaka, gue terima kalau dianggap begitu. Gue pun mau bahagia, Lona, gue temuin itu di sini." Agas berjongkok di depan Bellona yang duduk di ayunan taman kecil dekat restoran dan hotel, kedua tangan memegang rantai ayunan.

"Lona, cari keluarga Setyoaji, itu nama keluarga almarhum Ayah kandung lo. Terakhir gue dengar dari Bapak dan Ibu, mereka ada di Semarang atau Solo." Agas begitu sedih saat menatap Bellona. "Lo tetap jadi adik gue, Lon, akan selalu begitu." Air mata Agas luruh, Bellona memeluk leher Agas. Keduanya menangis sambil berpelukan erat.

Abdi yang mengamati dari kejauhan hanya bisa berdiri di tempat. Tak mau mengganggu pembahasan keduanya.

"Lo berhak bahagia. Temuin keluarga lo yang sebenarnya. Biar Ibu jadi urusan gue. Jangan turuti kemauan Ibu lagi, ya," lirih Agas lalu melepas pelukan. Ia menghapus air mata Bellona dengan kedua tangan. Seulas senyum terbit dari keduanya. "Bahagia sama Abdi dan pilihan hidup yang mau lo jalani. Cari dulu keluarga lo, jangan tanya Ibu, karena Ibu pasti bungkam. Dendam dan amarahnya terlalu mengakar. Gue yakin, lo akan jadi sosok perempuan hebat dan kuat, kayak nama lo, Bellona ... yang artinya dewi perang dalam bahasa Yunani. Nama ini, orang tua kandung lo yang kasih. Undang gue kalau nikah, ya, gue pasti dateng sama Makoto." Agas kembali memeluk Bellona yang mengangguk.

Setelah emosi reda, Abdi baru menghampiri. Agas mengulurkan tangan, keduanya berjabat tangan erat.

"Bellona berhak bahagia. Bantu dia cari keluarga aslinya. Saya tau, mereka pasti anggap Bellona udah meninggal." Jabat tangan terlepas. Abdi hanya menjawab dengan anggukan kepala.

"Lon, elo pasti akan terkenal, kalian pasti dianggap duet pasangan pebisnis ulung. Gue yakin itu terjadi." Agas tersenyum lebar. Terlihat beban dihatinya sudah terlepas, ia tak ada hutang rahasia ke Bellona.

***

Abdi menggandeng tangan Bellona, ia menepati janji akan menemani kekasihnya menikmati street food di sekitar hotel.

"One beef ramen, please," ujar Bellona kepada penjual ramen gerobak tapi rapi yang bisa sedikit berbahasa Inggris. Abdi tidak makan, ia tak begitu suka ramen.

Mereka duduk di depan gerobak ramen bermeja kecil.

"Aku udah chat Bahtiar, untuk mulai cari tau keluarga besar asli kamu, itu gampang. Kamu jangan takut," bisik Abdi.

"Aku cuma khawatir, kalau mereka nggak percaya gimana? Misal suatu hari aku ketemu dan nggak yakin aku keluarga mereka." Bellona memiliki sifat ragu jika berkaitan dengan pribadinya, kecuali urusan pekerjaan, ia bisa cepat yakin akan satu keputusan.

"Hei, denger, ya. Ada yang namanya test DNA, itu bisa kita lalukan kalau perlu. Kita tunggu kabar dari Bahtiar dulu, ya," bisik Abdi lagi. Bellona mengulas senyum tipis lalu menyandarkan kepala di bahu kokoh sang kekasih. Tidak mungkin bisa ia sekuat sekarang tanpa Abdi. Joker yang sudah tidak menyembunyikan jati diri.

Makan ramen selesai. Mereka kembali berkeliling sambil bergandengan mesra, sesekali Abdi merangkul guna merapatkan tubuh Bellona di sisinya.

Panasnya cuaca Tokyo tak membuat mereka menyudahi menikmati pemandangan malam hari lalu segera kembali ke hotel. Felix sendiri sudah di hotel, ia lelah dan sudah istirahat.

His Alterego ✔Where stories live. Discover now