Chapter. 24

5.3K 423 8
                                    

Selamat membaca 🌵

"Nggak. Apa-apaan!" tolak Bima.

"Lo nggak akan ketemu Ayah. Ayah jarang datangi kantor cabang. Lo handle cabang di sini. Lo lulusan majamen, gue yakin lo bisa, Bim," paksa Abdi. Bima menolak ide Abdi dan Bellona. Sebenarnya ini suatu kebetulan yang baik, kepala cabang kota itu pensiun dam harus diganti dengan yang lebih muda. Sumber daya manusianya harus orang baru, dan dari luar, hal itu sengaja supaya tidak ada kesenjangan antara karyawan.

"Tawaran Masmu, ambil, Bim," tukas Wulan.

"Bu, bukan gitu. Bima nggak siap seandainya suatu hari harus ketemu Ayah, Bima takut emosi," kilahnya.

"Gue dan Bellona yang atur. Gue juga akan ajari lo tentang kerja perusahaan. Gampang, kok, Bim, gue yakin lo bisa. Gue dan Bellona bisa atur skenario sembunyikan siapa lo. Tolong terima. Udah saatnya elo bantuin gue urus perusahaan Ayah walau diam-diam. Ayah sekarang lagi di Macau, sama Eva. Beberapa properti Ayah di sana mau dijual karena gue pangkas semua tunjangan. Gue pun berbohong dengan keadaan keuangan kantor, supaya nggak semena-mena Ayah maupun Eva." Abdi tersenyum sinis.

"Ayah sudah terlalu menikmati tahta dan kekayaannya selama ini, sekarang Ayah harus belajar berkecukupan," sambung Abdi.

"Gue nggak bisa jawab sekarang, Mas, Lona ... gue harus mikir dan diskusi sama Istri." Bima menyandarkan tubuh di kursi kayu bercat biru muda.

"Elo itu keturunan pebisnis, jangan lo buang. Bantu gue, Bim. Demi istri dan anak lo juga. Itung-itung juga, ini langkahan lo karena nikah duluan, ya, 'kan, Bu?" toleh Abdi, Wulan hanya tersenyum. Abdi merebahkan kepala di atas pangkuan Wulan, wanita itu mengusap lembut kepala putranya.

"Kamu sudah sangat dewasa, bertanggung jawab, dan berhati luas. Kamu bisa cepat memaafkan Ibu, terima kasih, Abdi," lirih Wulan.

Abdi memejamkan mata. "Anak tetaplah anak, Bu, harus menghormati orang tuanya seburuk apa pun perilakunya."

Kalimat itu terasa menyindir Bellona, ia diam, membuang pandangan menatap jalanan di depan rumah. Matahari perlahan turun, ia beranjak pamit untuk berjalan-jalan sore karena terlihat ramai lalu lalang orang.

"Temani sana. Kalau serius sama Bellona, disegerakan, Di." Wulan menepuk bahu Abdi.

"Bellona masih fokus berkarir dan ada masalah keluarganya yang bikin dia pusing. Abdi juga harus hargai itu. Secara pribadi, Abdi baru bilang kalau hubungan ini serius, nggak mau main-main, dan dia belum kasih jawaban." Abdi menatap nanar ke Wulan.

"Kejar, dong. Luluhkan. Jangan pacaran lama-lama, nggak baik. Tuh, Bima, kenal sekali pertemuan, bulan depan langsung ajak nikah. Ya, Bim," kata Wulan sumringah.

"Badan doang kekar, nyali ceking, hilih ...!" hina Bima sambil memejamkan mata saat duduk di kursi lainnya. Lelah juga salah paham dengan kakak sendiri yang ternyata berhati baik dan ikhlas.

Abdi berjalan keluar rumah, menyusul Bellona. Kekasihnya sudah berjalan cukup jauh, Abdi menahan senyuman saat terus membuntuti Bellona yang sumringah melihat ramainya jalanan dengan banyak jajanan.

Bellona menoleh ke belakang, tampak Abdi menghentikan langkah sambil membuang pandangan. Gadis itu kembali berjalan, lalu kembali menoleh setelah beberapa langkah. Abdi kembali berhenti namun, Bellona mengulurkan tangannya.

Abdi berlari, ia meraih lalu menggenggam erat jemari yang pas berada di telapak tangannya.

"Ayo ke Jepang. Ibuku udah ketemu, kita urus masalah kamu," bisik Abdi.

"Nanti aja," tolak Bellona. "Gugatan cerai Ibu udah masuk ke pengadilan. Rumah itu udah lalu delapan ratus juta. Ibu udah pindah ke tempat baru dan Bapak masih beresin barang-barangnya. Pembeli mau tempati rumah itu minggu depan. Aku harus pulang cepat dan beresin semua barang-barangku lainnya. Urusan Kakakku kapan-kapan aja." Bellona berbelok ke arah jalanan yang lebih sepi, dari sana ia bisa melihat senja yang perlahan turun, mereka berdiri di jembatan kecil dengan parit besar di bawahnya.

"Are you ok?" lirih Abdi. Bellona mengangguk.

"Bohong," tukas Abdi lalu memeluk Bellona dari belakang. Tak lama terdengar isak tangis gadis itu sambil memeluk kencang lengan Abdi yang melingkar di lehernya.

***

Abdi dan Bellona harus kembali ke Jakarta, Bima akhirnya setuju dan minggu depan Abdi akan kembali ke Jogja untuk urus ke kantor cabang. Ia juga akan mengurus keberangkatannya ke luar negeri untuk pengobatan Wulan.

"Kami pamit, Bu," ujar Bellona menyalim tangan Wulan.

"Hati-hati, ya, yang sabar. Ujian manusia itu akan selalu ada, kamu sudah kuat, harus semakin kuat, ya, Lona. Ke sini lagi nanti, Ibu nggak akan ke mana-mana." Wulan menggenggam jemari tangan Bellona.

"Njih, Bu," jawabnya.

Abdi memeluk erat Wulan, tubuh tinggi tegapnya menenggelamkan Wulan yang ramping.

"Jangan tinggalin Abdi lagi, ya, Bu. Abdi butuh Ibu," bisiknya.

"Iya. Ibu janji." Wulan mengusap wajah Abdi.

Mereka diantar sampai ke bandara. Abdi berpelukan dengan Bima lalu menoyor kepala adiknya.

"Puas lo bikin gue pingsan dan babak belur," ketusnya.

"Banget." Bima tertawa pelan. "Hati-hati, Lona," ucapnya kemudian. Ia dan Bellona berjabat tangan lalu berjalan meninggalkan Bima bersama Istri juga anaknya. Abdi merangkul bahu Bellona, terlihat posesif dan itu membuat Bima tertawa pelan. Sifat posesifnya sama seperti dirinya ke istri, jika sudah cinta akan dijaga segenap jiwa raga.

Tiba di Jakarta, mereka langsung ke rumah orang tua Bellona, terlihat kosong. Bapak sepertinya juga baru pergi. Bagus Bellona masih memiliki kunci cadangan, ia dan Abdi masuk bersama ke dalam rumah.

Hela napas Bellona membuat Abdi menoleh menatap. "Udah pilihan mereka, kamu hargai walau sedih. Ada aku di sini. Ayo ambil barang-barang kamu, di depan udah ada mobil yang siap angkutin ke apartemen."

"Sebenarnya nggak banyak, kamu berlebihan segala sewain mobil itu." Bellona masuk ke kamarnya. Ia menguncir cepol rambutnya, Abdi diam, ia selalu suka melihat penampilan Bellona yang cuek dan tidak peduli tatanan rambut harus selalu rapi.

"Cantik banget," gumam Abdi. Bellona menoleh. "Kamu, cantik banget," lanjut Abdi. Bellona tertawa pelan lalu membuka lemari pakaian, Abdi membantu merapikan meja belajar juga menaruh buku ke dalam dus. Sopir mobil pengangkut barang ikut membantu membawa meja rias, lemari sepatu dan beberapa barang ukuran kecil lainnya.

Tak terasa, dua jam sudah mereka membereskan dan selesai. Bellona mengunci pintu rumah masa kecilnya hingga sekarang. Ia meninggalkan kunci di meja teras. Tulisan rumah sudah laku juga terpasang. Dengan berat hati, ia melangkah meninggalkan rumah itu. Sesekali ia menatap kembali hingga helaan napas menjadi respon lelahnya hati dengan semua yang terjadi.

"Ayo," ajak Abdi setelah membuka pintu mobil untuk Bellona. Pak Gun menjemput di bandara atas perintah Abdi. Tak bisa ia pura-pura jatuh, nyatanya ia tetap saja butuh Pak Gun.

"Suatu hari, aku beliin rumah untuk kamu, ya. Bukan apartemen. Kamu suka rumah yang ada halamannya, 'kan?" lirih Abdi.

"Aku beli sendiri aja nanti," ujarnya.

"Ck. Aku beliin, lah. Tanggung jawab aku itu, Lona, sebagai--" Abdi diam. Ia memejamkan mata, meyakinkan diri untuk melanjutkan kalimat. "Aku jalankan hubungan kita ini sangat serius, jadi aku berharap kamu juga beranggapan sama, aku--"

"Aku mau," sela Bellona. Abdi menyandarkan kepala di jok mobil, menatap Bellona sambil tersenyum dan menggenggam jemari tangan Bellona. Mereka duduk bersisian di posisi tengah. Pak Gun yang mengemudi sampai ikutan tersenyum saking senangnya.

"Te Amo mi Amor (aku cinta kamu sayangku)", ucap Abdi.

"Yo también, te Amo (aku juga mencintaimu)," balas Bellona.

"Bisa bahasa Spanyol juga, kamu, hum?" Abdi menarik hidung Bellona pelan.

"Ish, apaan, ada google translate, iseng-iseng aja cari tau. Aku lagi suka nonton drama Spanyol, jadi cari tau dikit-dikit," sanggahnya.

"Cukup kata itu aja yang harus kamu hapal, lainnya nggak perlu," ucap Abdi sambil menatap lekat.

"Iya Pak Abdinegoro, puasss ...?" tekan Bellona.

"Belum. Ada saatnya aku puas sama kamu," kekeh Abdi.

"Abdi, ih."

bersambung,

His Alterego ✔Where stories live. Discover now