Chapter.8

6.7K 507 8
                                    

Selamat membaca 🌵

Dengan tegap, Bellona berjalan masuk ke lobi gedung yang kini menjadi tempatnya bekerja. Stileto beradu dengan lantai marmer membuat kepercayaan dirinya semakin terpupuk.

Kartu akses karyawan baru sudah diberikan HRD. Hari pertamanya bekerja di sana sudah terbayangkan akan ada drama baru. Bellona menjinjing tas kerjanya, berdiri di dalam lift menuju lantai sebelas walau sedikit berhimpitan dengan beberapa orang lainnya.

Tiba di lantai sebelas, ia disambut resepsionis yang masih menatapnya dengan penuh banyak pertanyaan. "Selamat pagi, apa ada hal lain yang harus saya lakukan sebelum masuk ke ruang kerja?" tanyanya.

"Tidak ada, Mbak. Cukup tempel aja kartu absensi di sana," tunjuk resepsionis lalu memberikan kartu absen milik Bellona dengan foto dirinya yang tersenyum cantik. "Ini, punya Mbak Bellona," tukasnya.

"Lona, nggak udah pakai Mbak. Nama kamu siapa?" Bellona mengulurkan tangan. "Maaf, dari kemarin belum kenalan," cengirnya.

"Oh, iya ... saya Nita, resepsionis lantai sepuluh. Apa, Mbak ... eh, Lona tau kalau perusahaan ini menempati empat lantai?" tanyanya.

"Belum. Apa kamu bisa temani saya berkeliling?" pintanya.

"Kalau itu nggak bisa, staf HRD yang nanti ajak keliling. Boleh saya tanya satu hal?" Wajah Nita tampak penasaran.

"Iya, apa?" Bellona mengaitkan kartu absen ke gantungan ID cardnya.

"Kamu siapanya Pak Abdi? Katanya simpanannya, ya?" bisik Nita.

"Hah?" Bellona cekikikan. "Saya karyawannya. Simpanan apaan?" lanjutnya.

Nita menghela napas. "Soalnya rumor yang beredar gitu, Lon. Katanya kamu masuk sini tanpa interview dan test, terus langsung masuk ke divisi pemasaran, posisi setara manajer. Siapa yang nggak iri. Eh ... aduh, maaf, saya nggak formil ngomongnya, maaf, ya." Nita menepuk bibirnya dengan tangan.

"Santai. Tenang aja. Ngomong-ngomong, kok masih sepi, ya? Pada dateng jam berapa?"

"Jam delapan. Pada mepet biasanya. Baru kamu aja jam setengah delapan udah datang."

"Gitu, ya. Kalau Pak Abdi, datang jam berapa? Pak Bahtiar?" Bellona mulai mencari tau kondisi kantor.

"Pak Abdi udah datang, selalu jam tujuh tepat. Pak Bahtiar udah absen, tapi pergi lagi karena setiap pagi harus antar anaknya ke sekolah, nggak jauh dari sini." Nita menjelaskan.

"Oh, jadi Pak Bahtiar absen, habis itu cepat-cepat antar anaknya ke sekolah, baru ke sini lagi?" Bellona mengurutkan.

"Betul. Maklum, duda anak satu, udah SMA kelas satu, perempuan."

"Duda? Cerai?" Kedua mata Bellona melotot.

"Cerai mati. Udah delapan tahun lalu, dia nggak mau nikah lagi, Lon. Jadi, hidupnya kerja urus Pak Abdi karena asprinya dan urus anak semata wayangnya. Nggak ada urusan perempuan, tipe duda setia, langka." Nita tersenyum.

"Hebat, ada laki-laki setia kayak gitu. Kamu sendiri, usia berapa? Jangan-jangan kita sepantaran?" ledek Bellona.

"Saya masih dua puluh tahun, Lona. Lulus SMA langsung kerja di sini. Kebetulan saya gantiin Kakak yang cuti melahirkan, awalnya, eh keterusan jadinya saya karyawan tetap di sini, sudah mau dua tahun."

Bellona tersenyum. "Kita beda enam tahun, nggak papa, panggil Lona aja, tanpa embel-embel, Mbak. Oh iya, ruangan saya sebelah mana, tau nggak kamu?"

"Tau, ayo saya antar. Sabtu kemarin udah di setting sama Pak Abdi, beliau sendiri yang awasi sampai sore."

His Alterego ✔Where stories live. Discover now