Chapter 14. Romusha Modern

9.3K 2K 651
                                    

Makasih, ya 850 votes kurang dari 3 hari, loh...
Padahal ada yang gak yakin. Takut kelamaan entar update-nya.
Yuk part depan unlock 950 votes bolelaa 🥹☺️🤭
Komennya kayak biasa 3 juta.
Yang nggak komen, anak buahnya Nikita Mirzani 😜

Yang nggak komen, anak buahnya Nikita Mirzani 😜

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.


"Pramana... anaknya Pak Idris Bachtiar?"

Oh iya... itu nama Bapaknya Pram.

Idris. Waktu awal-awal karirku sebagai pemuja Pramana, kirain namanya emang beneran Idris. Habis, hampir semua teman cowoknya manggil dia begitu. Sampai akhirnya aku nyadar, teman-teman cowokku yang lain juga nggak ada yang dipanggil pakai nama asli. Kebawa becandaan dari SD. Lingkungan sekolah kami memang sama semua. Biasanya yang jebolan dari SD yang sama bakal sekolah juga di SMP yang sama, SMA yang sama juga. Kebiasaan kekanak-kanakan itu baru hilang setelah tahun kedua di SMP.

"Gimana kabar bapak sama ibu? Tinggal di mana sekarang?" tanya Pak Priya, ketua RW setempat yang dimintain izin tinggal sama Pram. Orangnya masih agak muda. Paling-paling sekakaknya Pram, tuaan dikit. Makanya dia masih inget banget sama Pram.

"Bapak sama ibu ada," jawab Pram singkat dan canggung, bikin alisku menukik heran. Emang beneran benci basa-basi, atau kenapa, sih? Kok ditanyain soal orang tua, males jawab gitu? Kalau aku bakal seneng, sih, ditanyain kabar bapak ibu sama tetangga lama. Daripada mereka nanya udah nikah, atau udah punya anak, apa belum.

Yodahlah ya. Aku mengutarakan maksud Pram, sesuai telepon Ayah sebelumnya. Mas Priya ini, sebelum nikah, dulunya tinggal di depan rumah Ayah. Rumahku juga. Sampai sekarang orang tuanya masih tinggal di sana. Beliau menikah dan beli rumah di belakang rumah Pramana, makanya ayah bisa neleponin beliau duluan. Biar cepet kelar urusannya. Kami dipersilakan masuk.

"Oh iya, Pram... waktu itu... kamu nggak ada, ya, kayaknya? Aku turut berduka cita, ya, Pram... soal—"

"Iya," potong Pram sungkan. "Makasih, Mas...."

Berduka cita soal apa?

Siapa yang meninggal?

Kalau berduka cita, kan, biasanya ada yang meninggal, kan?

"Mau tinggal berapa lama, nih, di sini? Sebenarnya, sih... nggak perlu formal-formal begini. Rumah itu kan masih atas nama Pak Bachtiar. Tapi, memang, akhir-akhir ini karena banyak rumah yang dikontrakkan, warga sekitar agak menuntut adanya wajib lapor tinggal. Nenek sehat, kan, Pram?"

"Sehat. Izin tinggal sekitar sebulan," jawab Pram.

Hampir aja aku geleng-geleng kepala. Nggak bisa apa dia beramah-tamah dikit? Namanya juga lagi butuh. Aku aja yang nggak butuh daritadi maksain senyam-senyum.

"Tunggu, ya, diambilin format suratnya dulu. Mau minum apa, nih?" tawar Pak Priya yang baik hati dan dermawan.

"Aku nggak usah, Mas," kata Pram. "Inggrid aja, nih, yang giginya kering dari tadi senyum-senyum."

Factory RomanceNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ