Chapter 30. Relasi Kuasa (BACA DULUAN CHAPTER 37-38)

7.9K 1.1K 90
                                    

BURUAN BACA DULUAN PART 37-38 YA SOALNYA CHAPTER 39-40 BAKAL SEGERA MELUNCUR DAN INI PART SPECIAL. BIAR KAMU GAK ROAMING BACA PART DEWASANYA

Halooo...

Vote dan komennya dulu, donggg....

Yang part 29 kemarin ikutan follow IG dan DM email buat dapetin part 29 versi Karyakarsa gratis, udah kukirim, ya. Makasih udah follow instagramku.

Chapter ini kayak biasa versi lebih panjang ada di Karyakarsa.

Chapter 37-38 juga udah tersedia, ya. Ini detik-detik menuju part 39-40 yang lebih semriwinggg dari part 26-27 kemarin. Jangan ketinggalan baca chapter 37-38, ntar kamu nggak ngerti kok mereka bisa sampe di posisi kayak gitu awalnya gimana wkwk

Ya udah. Selamat membaca. Masih kuat kan puasanya? Bentar lagi lebaran. Asyiiik!

Chapter 30

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Chapter 30

Relasi Kuasa

Taksi yang dikendarai Pramana sudah berbelok ke arah Hotel Grand Candi. Apartemennya hanya beberapa meter setelah belokan itu. Dari tadi, aku menyetir lambat kira-kira tiga mobil di belakangnya. Mungkin cuma perasaanku aja, tapi aku ngerasa ada yang aneh di mobilku. Entah di mana. Sejak pertama kali kubeli, mobil ini nggak pernah dikendarai siapapun selain aku. Benny benci nyetir city car. Mungkin gara-gara itu. Anyway, dari sana, aku mengambil jalan lurus yang akan membawaku ke pusat kota menemui Gandhi.

It's getting pretty late buat ukuran kota Semarang. Orang yang turun ke pusat kota buat malam mingguan udah tiba ke tempat-tempat tongkrongan mereka, jadi jalurku relatif lengang. Aku bisa menyetir lebih cepat, atau lambat, sesuai keinginanku. Masalahnya, kalau lebih cepat, aku akan segera bertemu Gandhi. Kalau lebih lambat, urusan ini nggak selesai-selesai. Dilema. Jadi aku menyetir dengan kecepatan normal.

Mobilku terparkir mulus di basement yang padat.

Tepat di depan hotel, ada mal paling hype di kota ini, Paragon. Aku tahu kenapa Gandhi milih Novotel. Dia tinggal jalan kaki kalau mau ke Celfit.

Sampai mobilku sepenuhnya berhenti, kedua tanganku masih menggenggam erat kemudi. Aku selalu ngerasa ada sesuatu yang salah setiap kali harus menemui Gandhi di luar jam kerja, bahkan sebelum rahasia perkawinannya terungkap. Akan tetapi, kali ini rasanya lebih parah dari itu. Aku nggak tahu apakah menolak ajakan Pram buat makan malam adalah keputusan yang salah, tapi aku nggak suka letupan gelumbung air dan angin yang mengaduk lambungku sekarang. Aku nggak bisa memutuskan apa aku lapar, atau mual.

Renunganku belum cukup panjang waktu ponselku bergetar lagi. Terakhir kali kubaca, Gandhi bilang dia mau mandi. Harusnya dia belum selesai. Mandinya lumayan lama meski nggak mandi pun udah mempesona. Kayaknya aku nggak pernah mencium aroma nggak sedap dari tubuh Gandhi, sekeras apapun dia bekerja, sepanas apapun lantai produksi, selarut apapun kami lembur. Mungkin Dior Sauvage udah menyatu di aliran darahnya.

Factory RomanceWhere stories live. Discover now