Chapter 32. Rayuan Laki-Laki Tai Babi (BACA DULUAN MINI SPECIAL PART 41)

7.1K 886 115
                                    

Selamat Idul Fitri 1444H
Maaf lahir batin yaaa

Aku sebenernya libur update nih tapi part ini harusnya kupost sebelum lebaran.

Jangan lupa vote dan komen, ya?
Masa part2 terakhir komennya dikit banget?
Part depan aku baru mau update kalau vote-nya banyak, terus komen minimal 100 ah

PART 41 udah update di karyakarsa ya
Ini masih special part, lhooo tapi mini karena cuma satu part.

PART 41 udah update di karyakarsa yaIni masih special part, lhooo tapi mini karena cuma satu part

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter 32

Rayuan Laki-Laki Tai Babi

Aku tahu apa artinya itu.

Aku bisa membantumu.

Bantuan itu nggak akan diberikannya tanpa mendapatkan uang muka, atau malah pembayaran lunas di awal. Sama persis kayak kalau kamu mau beli motor, atau mobil baru. Gandhi menganggapku persis seperti itu. Mobil baru. Dia mau mengendaraiku dengan janji-janji manis sebagai uang muka. Bedanya, aku yang harus membayarnya seumur hidup.

Lenganku kudekap.

Menancapkan kuku-kuku di kulit dan dagingku, aku bertekad di dalam hati. Kamu nggak akan ketakutan atau panik di sini, Inggrid Clara Yuniar. Gandhi justru akan memanfaatkannya. Kamu harus tegas. Kamu harus berani. Aku mengerling ke kiri dan mulai berhitung. Bukan satu, dua, tiga, empat, lalu lari begitu aja. Aku sedang memperhitungkan seberapa cepat Gandhi bisa meraihku kembali dan membantingku ke tempat tidur kalau aku lari?

Relaks, Inggrid. Pakai strategi.

"Saat ini, akuntan Lanoste pasti sedang menghitung untung ruginya. Bisa jadi, kalau negosiasi terjadi, perusahaanmu harus menyelesaikan repeat order nyaris tanpa mendapatkan laba, tapi... itu mungkin lebih baik daripada kehilangan reputasi di depan brand-brand seperti Baronnes. Apa kamu tahu... Baronnes nggak pernah placing orders di manufacturer yang punya kredibilitas average, apalagi poor quality?"

Dan aku malah ngasih tahu Pramana blak-blakan soal temuan itu. Bagus sekali. Sebutir keringat terbit di pelipisku.

Gandhi pasti bisa melihat warna wajahku berubah, dia mengusap kepalaku. "Tenang...."

"Tenang, Nggrid... makanya kubilang... tenang... kamu harus hadapi dengan kepala dingin. Sini, dong... hssst... sabaaar...," bujuk Gandhi.

"Jangan kurang ajar!" semprotku waktu dia mau mengelus dadaku. Enak aja. Aku mengesah lagi, meringkuk dan meraup wajahku. "I don't even like this job," ratapku. "Kenapa aku mesti pusing? Tapi aku udah umur segini... masa aku mau mulai jadi junior lagi di karir yang lain?"

"Aku bisa menunda keputusan itu disampaikan ke perusahaanmu sampai dua bulan lagi..., setelah kamu dapat surat rekomendasimu," tuturnya, lembut dan jelas-jelas penuh tipu muslihat, tapi aku meneguk ludah seperti mendengar iming-iming yang sangat lezat. Gandhi tahu aku sudah terperdaya. Dia tersenyum, membiarkanku menatap wajahnya sementara dia sendiri memandangi puncak kepalaku yang diusapnya. Rambutku disisirnya lembut dan disingkirkannya ke balik bahu. "Aku juga bisa ngasih keterangan absensia pada tuduhan kelalaian itu, penanggung jawabnya saat itu bukan kamu, kan?"

Factory RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang