Chapter 17. Seperti Mati Lampu, ya, Sayang

10.9K 2.2K 632
                                    

Itu yang di sana ngarep diupdate tapi nggak mau vote, jangan bikin aku ngambek kayak Pramana, ya? Nanti aku bikin baca duluan tapi bayar, ngambeeek. Nyinyiiir.
Udah di karyakarsa dukung penulis pake duit gak mau, vote juga gak mau. Mau jadi apa kelen?

Nggak usah banyak tanya. Ini direpost karena views tambah banyak, tapi yang vote malah makin lama.

Tau diri dikit dong. Aku mau update.
Apa baca duluan, nih? Kalau mulai baca duluan, biasanya aku update wattpad makin lama.

Coba... vote dan komennya dulu sebelum baca.

Kalau nggak 1k votes part 17, nggak usah update di Wattpad, ya?

Komennya 7 juta. 🤣🤣🤣

Sebelum baca chapter 17 di wattpad ini, baca dulu adegan 'semalam'-nya Inggrid dan Pram di Karyakarsa. Biar nggak roaming baca part ini, ya.

Beberapa kali, aku terjaga dalam pelukan Pramana

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.




Beberapa kali, aku terjaga dalam pelukan Pramana.

Sepanjang malam, lampu nggak kunjung menyala. Setiap kali aku terbangun, bahkan setelah hujan sepenuhnya reda, di sekitarku masih gelap gulita. Tubuhku kian relaks dalam kehangatan intens dekapan lengan Pram dan dadanya yang melekat erat di punggungku. Deras limpahan air hujan dan petir yang bersahutan nggak lagi menakutkan, malah seakan membentuk irama monoton yang berulang kali laun menggiring lenyap kesadaranku.

Langit masih berwarna ungu sewaktu aku terjaga.

Aku bertahan pada posisiku semula, meringkuk miring menghadap dinding yang membisu, membelakangi Pramana yang masih nyenyak tertidur. Hujan sudah lama berhenti dan sepertinya nggak akan kembali pagi ini. Sejuk udara dingin masih mendominasi ruangan tua yang lembab. Kedua tanganku menangkup di pipi menyangga kepala. Sihir itu masih menguasaiku. Tubuhku sekaku semalam. Cuma kelopak mataku yang mengerjap, mengedip, serta bola mataku yang berusaha mengitari ruangan sejauh jarak pandangku mampu mencapainya.

Pramana belum tuntas menceritakan apa yang terjadi pada kakak laki-lakinya semalam. Kenapa dia bisa begitu terhubung pada rasa takutku akan gelap dan dengan luwes mengatasinya. He sounds like a different person, meski berusaha keras membuatku merasa tetap nyaman dengan ketajaman mulutnya. I know he's trying so hard to make me feel comfortable.

Begitu pagi menjelang, setelah sekian lama berusaha melupakan, perasaan yang hampir sama dengan yang kurasakan selama bertahun-tahun lalu menjadi penggemar rahasia Pramana kembali kurasakan. Hatiku yang menghangat setiap pagi datang, semangatku menyambut hari dan kembali melihatnya dari kejauhan kembali hadir menyapa.

Aku menunduk.

Memandangi hasta dan telapak tangannya terkulai di depan perutku.

Di balik badanku, dalam jarak yang sangat dekat, Pramana mendengkur halus. Embus napasnya membelai tengkukku. Ujung-ujung rambutnya menggelitik pundakku. Sepertinya, baik aku dan Pramana sama-sama bukan tipe yang gelisah dalam tidur. Aku terbangun dalam posisi yang sama, demikian juga Pramana nantinya. Hal seperti ini nggak pernah terbayangkan olehku sebelumnya. Meski aku menguntitnya sekian tahun, aku nggak pernah tahu bagaimana Pramana tidur sebelum tadi malam.

Factory RomanceWhere stories live. Discover now