Chapter 21. Laki-Laki Julid Penghapus Upil (BACA DULUAN PART 22)

10K 1.8K 539
                                    

Lama ih nungguin kalian votes-nya 😊

Baca duluan part 22 di karyakarsa, yuk?
Cuma 3500 aja

Sebelumnya, aku mau bilang makasih buat yang masih menunggu dan juga pengertiannya selama masa berkabung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sebelumnya, aku mau bilang makasih buat yang masih menunggu dan juga pengertiannya selama masa berkabung. Bener-bener nggak ada yang nyinggung soal kapan update. Salut banget sama kalian, lho. Sayang banget sama kalian.

Tanggal 19 Feb lalu, kakakku meninggal. Tiga tahun lalu, tanggal 26 Feb, anakku yang umurnya baru empat hari meninggal. Mohon doa-nya, ya? Semoga Masku dilapangkan kuburnya. Semoga anakku bahagia di sana. Semoga Mamaku, kakakku, anakku kumpul di tempat yang indah. Aamiin.

Anyway, kalau part ini kurang greget, dimaapin, ya?

Seperti yang kalian tahu, cerita ini kutulis draft awalnya, dan tiap kupost, baik di WP atau KK kutulis ulang. Jadi aku nulis ini baru semalam, setelah seminggu penuh sama sekali nggak nyentuh laptop.

Semoga kalian tetep suka, semoga kalian bahagia, semoga kalian selalu dalam lindungan-Nya.

Semoga kalian tetep suka, semoga kalian bahagia, semoga kalian selalu dalam lindungan-Nya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.




"Aku aja yang nyetir," kata Pram, menyahut kunci mobil yang kutaruh di meja.

"Aku aja!" sergahku, mencoba merebut kunci itu dari tangannya.

"Aku," kelit Pram sambil mengulurkan tangannya ke atas, dan memutar lubang gantungan kunci di jari telunjuknya.

Aku melompat, "Aku!"

Pram menyembunyikan tangan dan kunci tadi dengan sigap ke balik punggung, aku refleks meraih ke belakang, tapi Pram sengaja mengadu dadanya ke mukaku.

Aku menjerit, "Pram!"

Mengerling, warna lip gloss-ku tercetak di kemejanya. Pram menunduk, menemukan noda itu, lalu menjatuhkan bahu. "Semalam kopi, sekarang lipstik."

"Kenapa memangnya?" tantangku. "Emang masih ada yang marah?"

Senyum simpul menghiasi wajah Pramana. Dia lalu menggelengkan kepala, menggigit bibir samar sambil memindaiku dari ujung rambut ke ujung kaki. Aku mengernyit. Dia bilang, "Kamu tuh, ya... coba kalau aku becandain hal yang sama, apa jadinya?"

Factory RomanceWhere stories live. Discover now