Chapter 68. Living a Lie

2.2K 262 15
                                    

Pram sudah ingat bahwa itu bukan sekadar ciuman

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Pram sudah ingat bahwa itu bukan sekadar ciuman.

Ban mobilku berdecit tepat di depan rumah. Napasku tersengal.

Demi Tuhan, itu memang bukan sekadar ciuman.

Aku masih meringkuk.

Aku kembali terjebak di gudang bersama setidaknya lima anak lelaki yang memegangi tangan dan kakiku, berusaha melucuti seragamku, membungkam mulut, dan menjambak rambutku. Kemudian, mereka mendengar langkah-langkah mendekati gudang dan satu per satu berhamburan menyisakan satu orang yang paling bodoh. Satu orang paling bodoh itu masih mendekap dan mencium bibirku saat Pramana menjeblak pintu gudang hingga setiap sudutnya yang gelap gulita bergelimang cahaya matahari sore.

Pandu menghempasku begitu kuat hingga bagian belakang kepalaku terbentur keras. Dia berlari menyusul yang lebih dulu membubarkan diri lewat pintu belakang, meninggalkanku berhadapan muka dengan Pramana yang membeku. Diana muncul di balik punggungnya, mulutnya ternganga. Benturan keras di kepala membuat telingaku berdengung dan pandangan mataku buram. Aku mendengar keributan. Pramana menghardik dan mengusir Diana dan teman-temannya menjauh, sebelum dia sendiri pergi entah ke mana.

"Inggrid... ini ayah... kamu selalu menceritakan semua hal pada ayah... kamu bisa percaya pada ayah... Nak... benar... kamu hanya dicium?"

"Kalau itu hanya ciuman, apa kita pantas membesar-besarkannya?" bisik Ibu risau.

"Itu tetap saja pelecehan!" seru Gracia marah. "Mereka sudah merusak Inggrid! Mereka ngelecehin adikku. Ayah harus menuntut keadilan!"

Kakakku yang tersayang, yang selalu berada di sisiku. Apa yang terjadi padanya membuatku ingin pulang dan berani menghadapi dunia yang pernah kutinggalkan. Sosok suaminya yang bejat ada dalam list pertama buku yang kutulis mengenai mantan yang harus kamu arsipkan, a control freak and a woman beater.

Ketika aku melihat Pramana lagi di kafe saat peluncuran bukuku, juga di pabrik tempatku bekerja, aku masih hidup dalam kenangan yang ingin kuingat, bahwa itu hanya sekadar ciuman. Akan tetapi, di lubuk hatiku yang terdalam, aku tahu, Pramana tahu bahwa itu bukan sekadar ciuman. Jika ia melupakannya karena kecelakaan yang nggak pernah kudengar, aku ingin dia terus melupakannya.

Ekspresi terkejutnya sore itu memberiku harapan bahwa Pramana nggak menduga kejadiannya akan seperti itu, demi rasa cintaku yang nggak mau ikut hilang meski jiwa dan ragaku hancur oleh sentuhan-sentuhan yang tak kuinginkan sore itu, aku berusaha melindunginya.

Aku melanjutkan hidup dengan lubang besar di dalam jiwaku berisi pertanyaan yang sampai hari ini berhasil kutepis, apakah Pramana terlibat dalam perundungan itu? Kalaupun memang benar dia terlibat, aku ingin percaya bahwa dia tak menyangka mereka berbuat sejauh itu.

Tapi di atas segalanya, aku hanya nggak ingin mengingatnya lagi. Aku nggak mau Pramana mengingatnya lagi. Matanya saat dia mengatakan bahwa rahasiaku sama pentingnya dengan kebohongan tentang mantan pacarnya mengungkap bahwa dia sudah mengingat semuanya. Dia tahu itu bukan sekadar ciuman. Membayangkan menghadapi Pramana dengan ingatan seburuk itu membuatku ingin mati saja.

Factory RomanceWhere stories live. Discover now