Chapter 52. She Closed Her Eyes (CHAPTER ENDING SUDAH TERSEDIA)

4.9K 442 33
                                    

Chapter penghabisan alias ending alias tamat udah dipost di karyakarsa, spesial pula. Part 70-100 nantinya nggak akan ada di wattpad, ya...

 Part 70-100 nantinya nggak akan ada di wattpad, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Chapter 52

POV PRAMANA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

POV PRAMANA

She Closed Her Eyes

"Pramana...?"

Aku sedang mengetik, How to talk to someone you love without making her angry. Ternyata, Elliot sedang bicara padaku. Tentu saja dia bicara padaku. We are having a video conversation. Maksudku, tadi dia melantur soal project ini dan itu. I don't even bother listening. Sekarang dia baru sadar aku sama sekali nggak memperhatikan.

"What do you think?" tanya El.

You wanna know what I think? I think Inggrid is crazy. "I think it's great," kataku.

Elliot melipat bibir dan tersenyum. "Did you listen to what I am saying?"

"I—eum...." I didn't. Aku nggak bisa berhenti mikirin kegilaan Inggrid, El. Dia kayak petasan. Dia mirip bubuk mesiu. Kamu gesek dikit aja, meledak. Aku pengin teriak di mukanya, I want to caress you. Let me try! Dia terus mendorongku menjauh. Bikin aku frustrasi. Apa yang terjadi? Apa yang bikin emosinya terus menerus tersulut? Is it me? Atau dia selalu kayak gitu sama lawan jenis? This has to stop. Aku harus nyari tahu apa yang terjadi sama masa lalu kami dan kayaknya aku nggak mungkin nanyain hal itu ke Inggrid. I need to be more sensitive. Clearly, we have issues.

"What's the matter? You seemed troubled. Something happened in the factory?"

Tadi dia nanyain back strap dress yang fotonya baru aja kukirim. Inggrid kelihatan cantik di foto-foto itu dan yang kupikirkan cuma satu, apa yang sedang dilakukannya dengan Samudra Gandhi di Spiegel selain bicara? She kept coming back to him. Dia udah dibohongin, dia harus menendang selangkangannya to make her point, tapi dia tetap menemuinya. Aku paham dia khawatir soal temuan itu, tapi aku ngerasa dia merespons Gandhi terlalu cepat. Gandhi mau ketemu di pabrik, dia mau. Gandhi mau ketemu di Spiegel, dia mau. Aku harus antre kopi jam enam pagi di KFC supaya nggak ngantuk demi nyamperin dia pagi-pagi buta so we can talk again like normal persons. Itu aja nggak cukup. Apa yang harus kusimpulkan? Did she want him? Apa dia masih bimbang mau sama aku, atau sama Gandhi?

Factory RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang