55. Mati otak

7.4K 738 183
                                    

Lampu ruang operasi menyala, itu tanda-nya operasi tengah di lakukan. Atmosfer yang Nilam rasakan mendadak mencekam, terlebih di dalam sana, sang anak tengah berjuang antara hidup dan mati. Antara bertahan atau menyerah. Antara tetap tinggal atau pergi.

Di ujung sana, ada Laskar serta Meta. Nilam tidak lagi peduli dengan atensi keduanya. Yang ia pikirkan sekarang adalah anaknya. Hanya anaknya. 

"Mas, Gavin bakal baik-baik saja kan?"

Tidak hanya Revano, nyata-nya Gavin pun tengah berjuang di dalam ruang operasi untuk pengangkatan peluru yang bersarang tepat di dekat otak. 

"Ya, kamu harus yakin itu." suara Laskar sedikit parau, berusaha meyakinkan Meta, walau ia sendiri tidak yakin dengan ucapannya. Pikiran laki-laki itu kemana-mana, bagaimana tidak,  kedua anaknya tengah berada di ambang kematian. Dan jangan lupakan Andra yang ikut tumbang.

"Mereka pasti baik-baik saja. Mereka harus baik-baik saja. Tuhan...tolong selamatkan anakku, jangan kau ambil dulu nyawa-nya. Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semua-nya." Laskar berucap dalam hati.

"Aku takut..." lirih Meta, wanita itu menggenggam erat kedua tangan Laskar seraya menyandarkan kepalanya di bahu Laskar.

"Saya lebih takut Meta."

"Tante harus tenang, kita berdo'a sama-sama kepada Allah agar Revano di beri keselamatan. Anya yakin ko, Revano bakal baik-baik aja. Revano itu kuat, buktinya dia bisa bertahan sampai sejauh ini." Anya, gadis yang di plester keningnya itu tidak sedetik pun meninggalkan Nilam. Menurutnya, yang paling terpukul atas kejadian ini adalah Nilam. Maka dari itu, sebisa mungkin ia menemani Nilam. Takut-takut nanti Nilam drop.

Nilam manggut-manggut, ia balas genggaman tangan seorang gadis di sampingnya. Air matanya mengalir. "Bertahan sayang, mama tunggu disini heum? Mama akan selalu menunggu Revano disini." 

Sementara disisi lain, seorang lelaki tengah terbaring di atas ranjang pesakitan dengan mata terpejam dan punggung tangan yang di pasang selang infusan. Lelaki itu---Andra.

Di samping ranjang ada Ellina, gadis itu terduduk dengan kepala yang sedikit menunduk. Mendengarkan lontaran seorang lelaki yang dimana setiap katanya menyiratkan kekecewaan. Ya, kekecewaan lelaki itu kepada dirinya sendiri.

"Lo bodoh Gara! Lo, saudara dan kakak macam apa? Bisa-bisanya lo gak tau adek lo sakit keras! Bisa-bisanya lo ketawa sana-sini sementara adek lo menahan sakit sendirian! Bisa-bisanya setiap malam lo tidur nyenyak, tanpa tau adek lo tertidur dengan nyenyak atau tidak.  Lo benar-benar bodoh Gara! Lo bodoh!" 

Gara kecewa, Gara marah, Gara benci. Yaa Gara kecewa, marah dan benci kepada dirinya sendiri. Kenapa ia sampai tak sadar bahwa sang adik selama ini kesakitan? 

"Aggrrhhh..." desahan kecewa Gara, lelaki itu menarik kasar rambutnya sendiri.

"Sesak sekali ya tuhan." Lelaki itu menjatuhkan dirinya, membiarkan lututnya membentur lantai. Kepalanya tertunduk dalam, tangannya mengepal erat.

Revano anggap apa dirinya sampai-sampai hal sepenting ini di rahasiakan?

Apa adiknya itu tidak menganggap dirinya sebagai seorang kakak? Gara rasa tidak, Revano menyembunyikan semua ini bukan karena Revano tidak menganggap dirinya sebagai seorang kakak. Tetapi, sosok kakak di dalam dirinya tidak ada sedikit pun untuk Revano. Itu pikiran Gara

"Maaf...maaf...maaf Revano. Maafin gua, maaf gua belum bisa jadi kakak yang baik. Maaf gua udah jahat, maaf gua gak peka dengan keadaan lo. Maaf...maaf Revano." Air mata menetes dari kedua mata Gara.

"Kak?" lirih Ellina, suara gadis itu sedikit serak.

"Gua jahat Ell...gua jahat. Adek gua kesakitan tapi gua malah nambah kesakitan itu dengan cara gua ngerebut lo dari Revano!" Gara bangkit, lelaki itu menunjuk-nunjuk Ellina.

GaReNdra (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang