He Is Psycho 30 : Tidak Boleh Mati

405 19 3
                                    

Nafelly membuka matanya untuk yang ke sekian kalinya. Tubuhnya sudah agak membaik dan dia tidak lagi merasa lemas. Nafelly terduduk. Tidak ada siapa pun di sana. Tidak ada dokter, Felly, atau pun Alberto yang akan menjaganya. Mata Nafelly kemudian menangkap tampilan celana miliknya yang dilipat rapi di atas sofa dan juga ponsel yang berada di sampingnya.

Tanpa bersuara atau berpikir dua kali, Nafelly mencabut infus di tangannya dengan kasar, membuat darah bercucuran karena prosedur yang tidak tepat. Nafelly mengabaikan rasa ngilu di tangannya, berjalan cepat ke arah sofa dan meraih ponselnya.

Sesaat, dia teringat ucapan Alberto yang memperingati Nafelly untuk selalu membawa ponselnya. Segera, Nafelly mengotak-atiknya dan mendial satu nomor ponsel yang terdapat di sana.

Pandangan Nafelly masih kosong saat menempelkan layar ponselnya di telinga.

Tuut tuut tuut

... “Maaf. Nomor yang ada tuju, sedang—” ....

Nafelly mengakhiri panggilannya, dan kembali mendial nomor Alberto.

Tuut tuut tuut

... “Maaf. Nomor yang ada tuju—” ....

Nafelly mengulang apa yang dilakukannya, mengakhiri panggilannya, dan kembali mendial nomor ponsel Alberto.

Namun, suara yang didengarnya di seberang telepon bukanlah suara yang ingin Nafelly dengar.

Nafelly butuh orang lain, bukan wanita operator yang mengangkat panggilannya.

Pintu terbuka, dan jeritan tertahan terdengar dari arah pintu itu. "Ya Tuhan, Nafelly!!" Felly menjerit kencang, menghampiri Nafelly yang tidak mempedulikan penampilannya saat ini.

Nafelly masih mengulang apa yang dilakukannya, berdiri tegap di sana dan membiarkan Felly menghampirinya, ribut untuk menyuruh Nafelly kembali ke atas kasur.

Namun Nafelly mengabaikan. Dia mengulangi lagi apa yang dilakukannya.

Tidak menyerah. Mencoba tetap memanggil Alberto.

Alberto pasti menjawab. Nafelly meyakini itu. Pasti akan datang saat di mana Alberto mengangkat panggilannya.

Tidak mungkin manusia mati semudah itu, iya kan?

Alberto masih belum mati.

Alberto tidak boleh mati.

***

Samuel masih berada di kediaman Alberto walaupun malam sudah datang dan waktu menunjukkan pukul 9 malam. Dia hanya berkeliling di setiap sudut kamar Alberto, sambil membayangkan apa yang pria itu lakukan di dalam ruangan. Entah itu melipat pakaian, memperbaiki kasur, membersihkan toilet dan lain sebagainya. Selanjutnya, Samuel membuka-buka album sekolah Alberto. Hari-hari di mana dia mendapatkan sertifikasi atau memenangkan kompetisi. Dan foto-foto perpisahan sekolahnya dari SMP hingga kuliah. Di sini tidak ada album SD. Alberto dibesarkan di panti asuhan, jadi mungkin saat sekolah dasar, pria itu tidak mendapatkan album sekolahnya.

Samuel meraih sebuah buku jurnal yang berada di laci. Buku itu masih sangat mulus, namun tetap terlihat jejak-jejak bahwa buku itu sering digunakan oleh Alberto. Samuel mulai membuka lembaran buku itu, dan mendapati sebuah catatan tulis tangan Alberto di sana.

[Kegiatan kampus begitu sulit. Aku tidak memiliki teknologi yang dibutuhkan. Sangat melelahkan untuk meminjam fasilitas kampus. Namun saat aku kembali, kaktus yang kubeli sepertinya tumbuh.]

Di sana ada keluhan Alberto yang tidak akan Alberto bagikan pada siapa pun atau dia sharing di sosial media. Samuel tersenyum tipis melihat keluhan Alberto. Pria itu memang sangat jarang mengeluh. Namun sekalinya dipancing, Alberto akan mengeluarkan semua keluh kesahnya.

I Love My President Though He Is PsychoWhere stories live. Discover now