33

48 6 0
                                    

Aku mengabaikan Ares yang sedari tadi hanya terdiam, seolah masih marah karena tindakanku yang tiba-tiba saja memberikan napas buatan untuk Bimo.

Perlu kalian ketahui, bahwa berteman hampir 5 tahun bersama Bimo, membuatku mengetahui setiap sifatnya, termasuk penyakit Asma yang sudah ia derita sejak berumur  lima belas tahun.

Bimo tidak pernah tahu, bahwa penyakitnya merupakan penyakit turunan dari sang ayah, karena memang ia sudah tidak pernah bertemu beliau sejak masuk sekolah dasar. Bimo yang suka mendaki gunung, berenang di malam hari bahkan night ride harus berhenti dari kegiatan itu karena penyakitnya.

Tiga jam yang lalu, aku dan Ares menyaksikan sendiri bagaimana Bimo yang sudah tidak berdaya mencoba bernapas di dalam mobilnya yang ternyata lupa ia atur pemanasnya.

Aku yang pernah melihat ibu angkatku meregang nyawa, langsung panik dan memberikan napas buatan agar Bimo bisa bertahan, sementara Ares, buru-buru kusuruh untuk menelfon ambulans.

"Bi, Bimo gimana?" tanya Jordan, yang baru saja tiba dengan wajah yang tidak kalah panik denganku.

Aku menggeleng, kemudian menghambur dalam pelukan hangat cowok yang kerap kami sapa Ndan itu. Tangisanku pecah, perasaanku terlalu campur aduk untuk dideskripsikan. Intinya, rasa khawatirku terhadap Bimo, sudah bercampur dengan kenangan pahit di masa lalu yang mendorongku untuk terus menangis.

Lima belas menit kemudian, dokter akhirnya keluar dari ruangan tempat Bimo diperiksa. Beliau menjelaskan keadaan Bimo pada Jordan, kemudian menegaskan bahwa Bimo baik-baik saja dan sudah bisa rawat jalan setelah opname selama tiga hari.

Aku bernapas lega, begitu pula Jordan yang barusan pamit hendak mengurus administrasi.

Ares masih saja diam, membuatku bingung sekaligus kesal. Tapi, aku tetap berusaha berpikir positif. Mungkin saja ia juga sama kagetnya ketika melihat keadaan Bimo.

"Es, Bianca dibawa pulang aja. Aman kok gue nginap disini, ntar Bagas dama Koh Hendra juga nyamperin," ucap Jordan, begitu kembali menghampiri kami yang masih setia duduk di lorong depan ruang rawat Bimo.

Ares mengangguk, kemudian memberikan dua tepukan pada punggung Jordan. Membuatku mengurungkan niat untuk protes.

"Kamu marah?" tanyaku, mulai bosan dengan diamnya Ares.

FYI, kami pulang menggunakan mobil milik Bimo karena hujan mulai turun.  Jadilah motor Ares akan dipakai oleh Jordan.

Ares masih diam, tapi tangannya terlihat mencengkram kuat stir mobil.

"Kamu marah sama aku karna nyelamatin sahabatku Ares?" tanyaku, kali ini dengan nada yang sedikit meninggi. Aku tahu, ia pantas cemburu jika aku berciuman atau melakukan hal yang intim dengan orang lain. Tapi, apa ia harus marah juga ketika aku membantu Bimo bernapas?

"Menurut lo?"

Aku kaget. Spontan menatap ke arah cowok yang sudah tiga bulan ini menjadi pacarku. Memang, Ares kerap kali marah sebelumnya, tapi tidak pernah sampai mengubah gaya bicaranya denganku.

"Kita udah bahas kemarin-kemarin. Gue ga suka lo disentuh orang lain, apalagi cowok. Bukan berarti lo bebas nempelin bibir lo sama cowok lain, Bianca!" Ares mengeluarkan kekesalannya, kali ini sedikit membentak tanpa melirik ke arahku. Dapat kurasakan, bahwa kecepatan mobil semakin tinggi. Semoga tidak terjadi apa-apa pada kami.

"Kamu gila ya?! Terus kalo aku ga ngasih napas buatan, aku harus apa? Kamu ga tau apa-apa soal Bimo! Kamu selalu kayak gini, aku ga boleh ini, aku ga boleh gitu! Kamu kira aku nyaman dengan kamu yang kayak gini?! Kamu aja aku ga ada ngelarang deket sama siapapun, kok kamunya malah gini ke aku? Dia butuh pertolongan pertama Ares! Kamu kalo cemburu jangan sampe bego gini dong!"

***

YUHUU

drop kata" mutiara kalian buat Ares di bab ini!!!

Semoga suka yaa

Jan lupa voment

CU

LOVERWhere stories live. Discover now