34

47 5 0
                                    

Aku terbangun pukul enam pagi. Mataku masih membengkak karena menangis sepanjang malam. Sementara tubuhku terasa remuk dan hanya ditutupi oleh selimut tebal hotel.

Semalam, aku bertengkar hebat dengan Ares. Aku bahkan meminta mengakhiri hubungan kami, saking kecewanya dengan cowok itu.

Belum sempat amarahku mereda, Ares malah melakukan hal fatal yang membuatku tidak hanya kecewa, tetapi marah sekaligus membencinya.

Semalam hingga dini hari, Ares merebut mahkota yg sdh lama ku jaga. Satu-satunya hal paling berharga yang kumiliki, kini sudah ia rebut bahkan dengan amarahnya.

Drrttt drrttt

Aku memaksakan diri untuk bangun dan berjalan ke toilet, ketika mendapat telfon dari Jordan.

"Bi, kamu aman kan? Semalam ditelfon Buna, nanyarin kamu sama Es dimana," ucap cowok itu, dengan nada khawatir yang terdengar jelas.

Aku menggigit bibirku untuk menahan isak tangis. Aku malu, aku kotor! Sangat kotor untuk dikhawatirkan seperti ini.

"Bi, kok ga dijawab? Ini juga Es nomornya ga aktif. Kamu aman kan?" Lagi, Jordan kembali bersuara. Membuatku mengingat sepotong kejadian semalam, dimana Ares membanting ponselnya hingga hancur tak beraturan.

"Ndan..." aku berucap lirih.

"Suara kamu kenapa? Kok lemes? Kamu sakit?"

Aku menahan isak tangis. Sekali lagi, pehatian Jordan berhasil membuatku merasa bersalah dan marah.

"Nggak Ndan. Bisa jemput aku di hotel Pelangi?" jawabku, menciptakan keheningan diantara kami.

Tut tut tut

Jordan memutuskan panggilan secara sepihak, kemudian masuk sebuah pesan singkat yang berhasil membuatku sedikit lega.

Jordan 🐻

Tunggu di situ, aku jmpt
Jgn nangis, jgn panik!
Ada aku

Aku kembali menangis, tak urung mengambil pakaian baru, yang tertata rapih di lemari. Semakin mempercepat langkahku, walau masih sakit rasanya untuk berjalan normal, setidaknya aku tidak ketahuan Ares.

Pelukan hangat Jordan, adalah hal pertama yang kudapat, begitu cowok itu tiba di parkiran. Aku menumpahkan tangisku dalam pelukan hangatnya yang memang selalu nyaman.

Jordan mengelus punggungku, sesekali membisikan kata-kata penenang yang justru semakin membuatku menangis.

"Kita ke rumah Papi yaa? Soalnya dari semalam Papi nanyain kamu, katanya mau ngasih tau sesuatu," ucap Jordan yang hanya kuangguki.

Jujur, pikiranku tidak bisa fokus pada cowok itu. Ada saja pemikiran buruk yang mungkin terjadi akibat kejadian semalam. Misalnya, hamil atau bahkan dibenci oleh teman-temanku.

Jordan menghargai diamnya aku. Cowok itu memang cerewet, tapi ia tetaplah sosok yang akan menghargai perasaan atau suasana hati seseorang.

Papi Jo memberikan pelukan hangatnya. Kali ini sedikit lebih erat dari biasanya. Sosok Ayah idaman semua orang itu, kini menatapku dengan senyuman paling manis yang pernah ia miliki.

"Istirahat dulu gih, nanti aja ngobrolnya yaa," ucap Papi Jo, sebelum aku dibawa oleh Jordan menuju kamar tamu yang berada di lantai dua.

Jordan merapihkan selimut yang aku gunakan dengan telaten, ia juga mengatur suhu ruangan agar lebih hangat, karena hujan deras yang baru saja turun di luar sana.

"Mau aku panggilin Amanda buat temenin ga? Atau mau aku temenin?" tanya Jordan, yang kubalas gelengan pelan.

"Gapapa Ndan. Aku sendiri aja," jawabku, memang sedang membutuhkan waktu untuk menyendiri.

Jordan mengangguk paham, sebelum mengelus puncak kepalaku.
"Yaudah, kalo butuh apa-apa telfon aja yah. Biar aku nyamperin kamu. Tidur gih!" balas Jordan, sebelum keluar dari kamar, usai mencium keningku.

***

Hello guyss

Semoga kalian tetap setia menunggu updatean dari cerita ini yaa
Oh ya, jan lupa vote dan komen juga yaa

Love you and CU

LOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang