36

52 5 0
                                    

"Dr. Tamara Chittanie Gaharu"

Nama itu terpampang pada ruangan tempat aku dibawa oleh Jordan untuk diperiksa.

Selama hampir tiga bulan tinggal bersama Papi Jo dan Jordan yang memilih untuk keluar dari Mansion, aku memang selalu diperhatikan oleh kedua pria berbeda usia itu. Dari mulai makanan, kebutuhan, sampai pada apapun yang kuinginkan. Sehingga, sakit bukanlah hal yang bisa dengan mudah terjadi padaku.

"Mualnya sudah sejak kapan Bi?" tanya dokter cantik yang sudah sangat akrab dengan Jordan, sejak kami masuk ke ruangan itu.

"Sejak seminggu lalu, Dok. Saya punya riwayat magh, jadinya saya kira karna itu," balasku yang memang dilarikan ke rumah sakit oleh abang keras kepala ku hanya karena mual dan pusing.

Dokter Tamara tersenyum, ia menulis beberapa hal di kertas, kemudian beranjak mengambil wadah kecil yang kalau tidak salah sering digunakan untuk test urine. Aku menyergit, kenapa harus test urine?

"Kita coba dulu yaa, semoga dugaan saya salah," ucap dokter Tamara, sebelum memberikan wadah tadi padaku.

Hampir lima menit, ku habiskan dengan hanya berdiri di dalam toilet. Wadah yang diberikan oleh dokter Tamara tadi sudah terisi dengan urine milikku. Aku tidak bodoh, gejala yang kualami memang menjurus ke hal yang tidak pernah kuinginkan. Apalagi, kejadian tiga bulan yang lalu, berhasil membuatku semakin pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Alasan sakit magh hanyalah alibiku untuk mensugesti diri agar tidak berpikir buruk.

"Kamu duduk sebentar ya," ucap wanita cantik tadi, sebelum pergi sebentar untuk menguji urine yang baru saja kuberikan. Aku mengangguk sebagai jawaban. Terlalu lelah memikirkan nasipku yang seolah selalu dipermainkan oleh takdir. Perkataan Bimo memang tidak pernah salah, bahwa kita tidak boleh terlalu larut dalam rasa bahagia, karena bisa jadi akan ada hal buruk yang akan mematahkan semua itu.

Dokter Tamara sudah kembali, kali ini ia terlihat lebih banyak memberikan senyuman teduh padaku.

"Jadi, saya sakit apa Dok?" tanyaku, begitu beliau duduk tepat di sampingku.

Tangan Dokter Tamara terulur untuk menggenggam tanganku. Elusan halus pada tanganku seolah memberikan isyarat agar aku tidak khawatir.

"Can I talk to you?"

Aku mengangguk mantap sebagai jawaban. Sudah sepatutnya bukan, aku menyetujui ajakan mengobrol dari dokter yang memeriksa keadaanku?

"Not as a doctor, but as a mother," ucap Dokter Tamara, yang berhasil membuatku menatapnya bingung.

"Bingung yaa? Jordan udah cerita semuanya, bahkan sebelum kita ketemu hari ini. Saya Chitta, ibu kandung kamu dan Jordan. Mami belum bisa tentang masa lalu karna beberapa alasan, tapi, mami harap kamu bisa menerima mami. Mami sama papi Jo sudah bercerai tepat setahun setelah kamu dinyatakan hilang tanpa jejak. Mami tau, ini mungkin keputusan yang buruk sebagai orangtua yang pada saat itu masih harus merawat A'a Ndan. Tapi, sayang. Apapun yang akan mami ceritakan tentang kondisi kamu, tolong jangan pernah merasa bersalah atau melakukan hal buruk ya! Mami, Papi, A'a Ndan selalu ada di samping kamu"

Aku masih terdiam, dengan airmata yang mulai meluruh. Tidak kusangka, ternyata aku masih diberikan kesempatan untuk bertemu sosok ibu kandungku. Bahkan, beliau sangat baik dan penuh kasih sayang sejak kami bertemu tadi.

Aku membalas pelukan hangat itu, seketika langsung melupakan segala kekhawatiran yang mengganggu pikiranku sejak tadi. Pelukan seorang ibu, memang tidak pernah salah. Selalu menenangkan dan damai.

"Jadi, aku kenapa Mi?"

Mami Chitta nampak mengelus pelan rambutku yang tercepol. Memberikan senyum manis yang mirip sekali dengan Jordan, kemudian menggenggam tanganku erat.

"Kamu, hamil sayang"

***

Yuhuu
Author is back
Tetap mencoba menamatkan cerita ini sebelum UTS

Semoga pada suka yaa..
Jan lupa vote sama komennya lho..
Love u

CU

LOVERWhere stories live. Discover now