44

30 2 0
                                    

Bianca menatap gelapnya langit dari rooftop rumah minimalis milik Viko. Dinginnya angin malam, tidak jadi alasan bagi gadis berambut hitam legam itu, untuk urungkan niat awalnya yang hendak nongkrong di tempat itu.

Usai memplay asal playlist di aplikasi spotify pada ponselnya, gadis itu mulai menatap sekitar.

Satu helaan napas berhasil lolos, pertanda ia baru saja melepas satu sesak yang dari siang tadi ia tampung di dadanya.

Suasana hening yang ia rindukan ini, kerap menjadi teman di malam-malam sebelumnya. Bedanya, kali ini ia bertamu hanya untuk menyendiri di tempat itu, mengabaikan ajakan Viko untuk makan malam bersama.

Tess

Bulir airmata mulai membasahi pipi tembem Bianca. Gadis itu terkekeh pelan, sebelum menyeka kristal bening tadi.

Kalau dilihat-lihat, banyak sekali yang terjadi dalam kurun waktu satu tahun ini. Banyak hal yang menjadi penyesalan, ada juga yang jadi sumber luka.

Seperti menaruh hati pada Ares. Cowok dengan sejuta keistimewaan dan kemewahannya.

Bianca sadar, sejak awal harusnya ia telan perasaan tertarik itu sebelum berubah jadi makin dalam. Hanya saja, ia terlampau buta akan pesona yang dimiliki oleh Ares.

Gadis itu menoleh sebentar pada benda pipih yang tampilkan jam digital serta bersih dari notifikasi itu. Kekehan kembali terdengar. Kali ini diiringi senyuman tipis.

"Gue berharap apa sih?" ucapnya, sebelum kembali menekan tombol power agar layar ponselnya kembali gelap.

Sepi. Satu kata yang berhasil gambarkan dengan jelas bagaimana rasanya kehidupan Bianca. Bohong kalau gadis itu tidak iri dengan Amanda. Ia iri, terlampau iri sampai-sampai kadang suka berkhayal bisa jadi seperti temannya itu.

Bianca itu rapuh. Bianca itu sebenarnya cengeng. Ada banyak hal yang selalu ingin ia ceritakan. Sesederhana rasa kesalnya karena AU kesukaannya tak kunjung diupdate, atau tentang Tiffani yang terang-terangan memamerkan hubungan cewek itu.

Jordan, Bimo bahkan Amanda memang sering jadi pengisi kosongnya Bianca. Entah itu lewat notifikasi di grupchat mereka, atau sekedar panggilan singkat karena gabut. Namun, nyatanya itu semua tidak bisa jadi penghalau sepi bagi Bianca.

Ia butuh seseorang yang selalu available untuknya . Ia butuh orang yang tidak lelah dengarkan ceritanya, Ia juga butuh orang yang selalu bisa yakinkan kalau dia tidak sendiri.

Ia selama hampir enam bulan ini, mengira jawaban dari segalanya adalah Ares. Padahal justru hal itu jadi sesal paling dalam bagi gadis itu.

Saat Jordan, Bimo, Amanda bahkan sang abang tidak bisa mengerti dirinya. Justru Ares semakin membuatnya bingung akan apa yang sebenarnya ia inginkan.

"Dari sekian banyak orang, kenapa harus Ares?" Satu pertanyaan yang kerap ditanyakan oleh orang terdekatnya, kala itu ketika Ares masih jadi orang yang ia kejar-kejar.

Jawabannya, Bianca pun tidak tahu. Karena cinta memang datang tanpa bisa dikontrol oleh manusia, kepada siapa ia menaruh hati.

Bahkan setelah pada akhirnya bersama, Bianca masih tidak bisa mengerti dirinya. Ares masih jadi sosok yang jauh meski raga dan hatinya sudah berhasil ia genggam.

Melalui masalah keluarga, fakta baru bahwa dirinya adik kandung Jordan, serta soal kehamilannya. Semuanya sungguh jadi sesak baru di hati Bianca, setelah lepas penatnya mencintai Ares yang akhirnya berbalas.

Kini, ia genggam erat kertas hasil pemeriksaannya hari ini. Seiring tangannya mengelus pelan perutnya yang sudah sangat membuncit karena usia kehamilannya yang hampir menginjak 6 bulan.

"Dek, maaf. Harusnya kamu bukan lahir dari ibu seperti Bunda," ucapnya, dengan airmata yang tidak berhenti membasahi pipinya.

"Kita bisa kan Dek, kalau sama-sama?"

***


Another update, yeay!!

Jgn lupa vote sama komentnya yaa

CU ma bb, hwarang'ers

LOVERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang