Chapter 2 : Serbuan Para Makhluk Hitam!

86 16 1
                                    

_____

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

_____

Kota Fanrong Selatan, Kadipaten Senlin.

Langit biru menghampar luas di atas lautan beton. Gedung-gedung pencakar langit berjajar rapat di kota padat penduduk - mirip seperti Seoul di Korea, atau setidaknya seperti Ibukota Jakarta di Indonesia. Bedanya, kendaraan yang berlalu lalang di jalanan beraspal ini menggunakan teknologi listrik.
Sebagian lain menggunakan tenaga tatasurya, meski bentuknya sama seperti sedan biasa.

Tujuh meter di atas jalan raya, puluhan mobil terbang berlalu lalang dengan stabil. Semuanya sesuai jalur ketinggian yang diatur oleh pemerintah setempat. Masyarakat di sana terlihat santai berjalan di trotoar, jarang yang menggunakan kendaraan pribadi seperti sepeda motor.

"Fi-filmnya ... seru, ya ... Lastri?" Seorang pemuda berambut tebal melangkah keluar dari lobby gedung bioskop. Tubuh kurusnya dibalut jaket hoodie cotton dan celana hitam panjang. Meski terbilang tinggi, pemuda itu tampak tak bertenaga dari badan yang kecil.

Lastri, gadis putih berambut lebat dengan hidung mancung tajam itu dibalut sweater putih dan dress panjang sebagai bawahan. Rambutnya disanggul menggunakan tusuk konde emas kecil motif merak. Ada batu kecil merah indah mirip ruby pada kepala tusuk konde itu. "Iya," sahutnya mengangguk lirih dengan wajah menatap ke bawah. Gurat kekecewaan tampak dari sorot mata cantiknya.

"Las? Kamu kenapa? Apa ... aku buat salah?" Pemuda bersepatu sport putih berhenti melangkah, lirih menatap netra gadis berbibir tipis tersebut.

"Mas Ni'mal?" Air mata terbendung pada kedua matanya.

"E-eh? Ka-kamu nangis kenapa, Lastri?" Ni'mal sontak memegangi pergelangan tangan gadis tersebut lembut.

Setelah mengibaskan tangan guna menampik sentuhan Ni'mal, ia berucap, "Mas? Apa Mas Ni'mal lupa?"

Pemuda tampan berwajah bloon mengerutkan kening, garuk-garuk kepala walau tak gatal. "Duh, lu-lupa kenapa ya, Las? Aku ... datang ke sini sendirian seperti yang kamu minta. Aku juga ini mau antar kamu pulang, kan?"

"Bukan itu!" sanggah Lastri kesal.

"Eh? Apa, dong?" Ni'mal panik. Ia tak terbiasa melihat perempuan menangis. "Kalau kejutan ulang tahun ... kan, ulang tahunmu bulan ke-empat? Masih lama, kan?"

Air mata dari netra si gadis mancung kian menderas membasahi pipi. Anehnya, tidak ada orang-orang sekitar yang merekam keributan tersebut, tak seperti kejadian di sebuah negeri fiksi lain. "Mas ... apa kau lupa dengan ini?" Lastri mencabut tusuk konde di kepala, membuat rambut lebatnya terurai indah. Ia memajukan tusuk konde emas bermotif merak ke wajah Ni'mal.

Deg!

Hanya dengan melihat permata kecil merah bak ruby yang ada pada pangkal tusuk konde, jantung Ni'mal mendadak berdetak kencang. Aliran darah pada nadinya terpompa cepat. Bulu romanya berdiri dari ujung kaki ke ujung kepala. Batu merah apa itu? Kenapa ... badanku bereaksi begini! Tanpa sadar, ia mulai mimisan.

Nguuuiiiiiing!

Suara sirine memecah drama romansa yang tengah terjadi, disusul oleh kemunculan pesawat raksasa besi berbentuk segitiga yang melayang lima puluh meter di dari permukaan bumi. "Perhatian! Perhatian! Teruntuk seluruh masyarakat di sekitar Fanrong Selatan! Segera mengungsi ke Stasiun Kereta Antar Kadipaten segera! Kami ulangi! Segera mengungsi ke Stasiun! Segera! Mohon dengarkan sambil bergegas menuju Stasiun Antar Kadipaten sekarang!"

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ