Chapter 8: Bakat yang terpendam

39 11 2
                                    


Kawasan Hutan Suwung, Kadipaten Sunyoto.

Dengan tubuh basah kuyup, Ni'mal langsung menepi - duduk di ngarai luas penuh rerumputan hijau. Tidak hanya bibir, batinnya pun bergerak-gerak lirih merapal wirid. Tak terlalu yakin mengapa, yang jelas dari ekor mata pemuda mancung berbadan kurus ini, air mata mulai mengalir.

Atau mungkin, air mata tersebut menetes di saat benaknya mengingat berbagai kesalahan yang ia perbuat secara sengaja mau pun tanpa sengaja. Sambil mengatur keluar masuknya napas dari mulut, pemuda tersebut duduk bersila. Kilas masa lalunya di saat ia gagal membuktikan kehebatannya sebagai keturunan pendiri Padepokan Macan Bumi, terputar jelas.

Semua manusia yang terlahir di Negeri Manunggal, memiliki kecenderungan bakat bela diri. Ada yang dianugerahi kemampuan menjinakkan unsur alam, ada yang dianugerahi kekuatan fisik luar biasa, dan ada yang diberkahi aliran tenaga dalam dahsyat. Ada pula yang dikaruniai genetik separuh Makhluk Hitam bak siluman.

Sebagai seseorang berdarah keturunan pendekar hebat, ia tak jauh lebih kuat dari orang-orang kebanyakan. Sejak kecil, ia dilarang menekuni ilmu beladiri oleh sang kakek.

Ia bahkan terkejut, mengetahui bila kakeknya merupakan orang penting di keraton utama Pancer. Jangankan rahasia besar soal sang kakek, Ni'mal sendiri heran acap kali ia mencoba mengingat kepingan memori di kepala, ia justru berakhir mimisan.

Tetapi di antara semua ingatan tentang dirinya, momen di saat dirinya mengikuti sayembara kecil yang Kakeknya buat untuk menentukan posisi pengurus Padepokan Macan Bumi, amatlah memilukan. Ni'mal sang cucu penerus Padepokan Macan Bumi, kalah telak oleh bocah yang lebih muda sekaligus lebih kurus darinya di ronde pertama.

Semakin lama ia menyebut nama Tuhannya, semakin akalnya sadar akan kelemahan diri. Deret kegagalan yang ia dapat, menjadi momok menyakitkan. Entah apa yang terjadi setelah masa itu, yang jelas cairan merah mulai menetes mengalir dari lubang hidung.

Laaab!

Dalam kondisi mata terpejam, kali ini Ni'mal dapat melihat samar. Seolah-olah ada video live stream yang berjalan di kepala, menampilkan lokasi sekitar di mana dirinya terduduk sila. Salah satu figur perempuan berdaster hitam, muncul beberapa meter darinya. Yang membuat bulu kudunya berdiri, ialah kaki sosok wanita berambut panjang acak yang tak menapak di tanah.
Kunti? celetuk Ni'mal dalam hati.

"Mas? Meditasi begini mau minta apaan sih, Mas?" Sosok kuntilanak berdaster putih lain yang ada di samping kirinya, tampak duduk - mengelus dagu pemuda basah kuyup tersebut menggunakan cakar putih panjangnya.

"Seeetaaaaan waadooon!" jerit Ni'mal histeris.

***

8 jam kemudian, Kediaman Raden Armi, Gunung Suwung, Kadipaten Sunyoto.

Di pagi cerah, tampak dua gadis rupawan berdiri di depan pintu masuk rumah Raden Armi. Srikandi, perempuan berambut biru lebat tersebut mengenakan kaos berkerah dan celana putih panjang. Sementara Puspa Arumi dibungkus busana hitam panjang dengan selendang hijau membalut leher sampai dada. "Apa benar ini kediaman beliau?" tanya Puspa menoleh kecil.

"Tidak salah. Hanya ada satu rumah ini di atas gunung Suwung," sahut Srikandi.

Krriiiet ....

Setelah daun pintu dibuka dari dalam, Athar si pemuda berkaos biru motif benalu putih, mengerutkan kening mengamati wajah kedua gadis di hadapannya. "Kalian ... yang pas itu di Kota Fanrong, ya?"

"Ahh, benar rupanya," lirih Puspa lega. "Apa bocah yang waktu itu masih di sini?"

Mereka cari Kak Ni'mal? terka Athar yakin. "Ada perlu apa memangnya?" jawabnya melangkah mendekati kedua gadis tersebut.

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now