Chapter 22 : Batu Keramat Biru dan Suara Sang Sura?

30 9 1
                                    

Rawa Wilayah Arsir, Kadipaten Cidewa Hideung.

Byaaarrr!

“Bwahhhh! Haahh! Haahh!” Ni’mal melepas napas yang ia tahan semenjak diterkam sang naga air tadi. Netra beriris cokelatnya menyapu ke sekitar, mengamati rawa-rawa gelap berair keruh. Sekumpulan awan mendung di langit menepis sinar sang surya saat itu. “Hahh! Di mana naga air tadi!”

"Kang Ni'mal!" Ratih yang mengambang di dekat Ni'mal memanggil.

Pemuda berjaket hitam merah mengernyitkan kening. "Kau... bagaimana kau bisa me-"

“Kyaaaaa! Baklu!” jerit Ratih histeris menatap Ni’mal.

“Heh! Sembarangan! Begini-begini aku orangnya setia!” timpalnya kesal.

Padahal, jelas yang dimaksud oleh Ratih adalah sosok buaya abu yang bisa berjalan menggunakan kedua kaki. Makhluk Hitam penghuni rawa tersebut sudah membuka mulut lebar, berenang lirih mendekati Ni’mal dari belakang.

Saat jaraknya berkisar satu meter dari sang mangsa, sosok manusia buaya tersebut langsung membuka moncong penuh taring tajam, menggigit bahu kanan Ni’mal.

Dlaap!

“Eh?” Ni’mal menoleh ke samping kanan, di mana sosok Baklu yang diteriaki Ratih tengah meronta mencoba mencabik lengannya.

Namun jangankan kulit, kain jaket yang Ni’mal kenakan bahkan tak terkoyak secuil pun. Busana pemberian Ki Ageng Jagat memiliki ketahanan luar biasa.

Ratih segera merogoh toples kecil dari dalam ransel, ia menuangkan garam bercampur bubuk cabai ke mata si Baklu. “Enyah kau dasar buaya darat!”

“Srrrraaaargh!” Sang monster buaya mengeluarkan suara mirip desisan, berenang mundur dan mencelupkan kepala ke dalam air berkali-kali guna cuci mata.

Kok aku nggak luka, ya? pikir Ni’mal heran.

“Kang! Ayo menepi! Banyak Baklu lain mendekat!” seru Ratih menunjuk ke arah belasan Makhluk Hitam berwujud monster buaya.

“E-eh? I-iya! Ayok!” Ni’mal hanya pasrah saat lengannya ditarik Ratih menuju tepi rawa. Untungnya rawa di mana mereka berada cukup dangkal, sehingga bisa mereka pijaki dasar airnya. Rerumputan air dan eceng gondok tersebar nyaris menutup permukaan air keruh rawa. Tak jarang terdapat tanaman merah muda bernama teratai yang mengambang juga.

“Srraaaaargh!” Puluhan Baklu mempercepat laju renang guna mengejar Ratih dan Ni’mal.

Hingga kemudian, Ni’mal teringat pada kata-kata pria bertopeng merah. Benar! Ini sarang Baklu! Celetuknya dalam hati. “Ratih?” panggilnya membuat gadis berkebaya hijau nan basah kuyup berhenti.

“Apa lagi sih, Kang! Ayo cepat la- kyaaaa!” Ratih didekap dari belakang, kemudian dilempar jauh hingga mendarat di semak belukar.

“Ratih? Ini sarang Baklu, kan?” Ni’mal menarik napas dalam-dalam, balik badan menghadap kerumunan Makhluk Hitam.

“Huwaaaa! Kang Ni’mal! Tolonglah jangan bunuh diri di sini! Sampean itu ganteng walau bloon! Ayolah, Kang! Ayo lari!” rengek Ratih cemas.

“Kau diam saja, awasi sekitarmu,” sahut Ni’mal mengepalkan sepasang tinju. Cincin akik merahnya menyala temaram. Batu biru keramat itu … harusnya ada di dasar rawa sekitar sini, kan?

“Kang! Tolonglah jangan nekat!” pekik Ratih cemas saat Baklu yang ia lukai matanya tadi, berenang mengendap dari sisi belakang sang rekan.

“Tunggu sebentar, Rat. Aku perlu ambil sesuatu di dasar rawa,” ucap Ni’mal meregangkan tulang jemari.

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now