Chapter 65 : Pusaka Berdarah (Bag. 2)

30 9 6
                                    

Beberapa waktu lalu, Gua Keramat, Pulau Iwak, Kadipaten Sunyoto.

Menelusuri gelapnya gua, Ni'mal dan Cepot berhenti di sebuah ruangan gua berjalan buntu. Ruangan gua tersebut dikelilingi batu kristal bersinar kehijauan temaram - membuatnya tak terlalu gelap dan suram.

"Bawahanku yang bernama Pandawa Merah itu sedang sibuk menahan penjaga tempat ini, ya?" terka Ni'mal melangkah maju menghadap sebuah dinding gua bertuliskan aksara Jawa kuno.

"Benar, Yang Mulia. Ini juga jalan rahasia lain yang berhasil hamba temukan," jawab Cepot.

"Ksatria Manunggal itu ... jujur aku malah tak tahu kalau dia menyimpan Pusaka Berdarah di tempat ini." Ni'mal menoleh kecil ke belakang. "Tapi aku kagum padamu dan antek-antekmu. Kau menemukan jalan rahasia, sementara mereka menahan penjaga gua ini seorang diri. Sejujurnya, aku bakal kerepotan menghadapinya seorang diri," jelasnya menatap dinding gua. Ia menempelkan telapak tangan kiri ke sana.

Pemuda berjaket hitam merah tersebut berkomat-kamit merapal mantra bahasa Sunda. Tindakannya membuat ukiran huruf Sunda kuno yang ada di sekitar batu bersinar hijau bercahaya kemerahan. Lambat laun, udara di dalam ruang gua terasa pengap - menyesakkan dada.

Dari balik topeng merah, Cepot melirik memandangi aksara Sunda yang menyala. Aksara kuno leluhur Cidewa Hideung bereaksi. Ia mengulas senyum dari balik topeng. Tak diragukan lagi. Makhluk di dalam tubuhnya sudah mulai menguasai raga.

Ni'mal kali ini berganti merapal mantra dari bahasa Jawa kuno, membuat aksara-aksara Jawa di sana menyala merah sebagaimana aksara Sunda. Bahkan, batu kristal yang semula bersinar kehijauan, mulai menyala kemerahan. Aura merah di tubuh Ni'mal mulai meliputi sekujur badan.

Ni'mal sejenak menggeram, lantas berkata, "Wahai ruh gua, tunjukanlah jalan pada Pusaka Berdarah!"

Drrrrrggg!

Ruangan gua bergetar seakan diguncang dari dasar bumi. Pada dinding gua di depan Ni'mal, retakan besar secara vertikal mulai muncul dan merambat. Bentuknya menyerupai garis akar serabut.

Brrraall!

Mulut gua tersebut hancur, menampakkan sebuah ruangan lain yang sempat terselubung. Sebuah ruangan indah berlantai batu yang rapi. Dinding-dinding di sana penuh oleh aksara Jawa, Sunda, Dayak, dan hampir semua aksara dari suku yang berasal dari Nusantara. Sementara di langit-langit ruangan batu, terdapat celah bundar yang ditutup benda bening seperti cermin.

Dari ventilasi bercermin tersebut, sinar sang surya masuk menyorot sebilah kujang besar yang tertancap di bongkahan kristal ungu. Sebuah kujang keramat bertekanan magis tinggi - Kujang Ludira.

"Keheheheh!" Ni'mal melangkah riang mendekati pusaka yang tampak terbuat dari logam biasa tersebut. "Aku belum genap membunuh seribu nyawa." Ia menggapai tangkai kujang raksasa. "Dan kau pun haus darah, ya?" Pelan tapi pasti, ia mulai mencabut benda tersebut.

Drrrrrgg! Krrrtaak! Krrrrtk! Krrrk!

Lagi-lagi seisi ruangan berguncang. Bongkahan kristal yang ditusuk oleh Kujang Ludira pun mulai memunculkan retakan.

Prrraaang!

"Kyaahahahah!" Ni'mal tertawa puas usai kristal ungu di sana hancur lebur. Ia membebaskan pusaka yang pernah membantai ratusan bahkan ribuan jiwa manusia. "Kyaahahahah!"

***

Masa kini, lokasi Pagelaran Utama Sayembara Manunggal, belahan hutan lain.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now