Chapter 4 : Penyelamatan Lastri!

49 15 0
                                    

Beberapa hari lalu sebelum penyerangan Kota Fanrong, Gunung Suwung, Kadipaten Sunyoto.

Di halaman depan rumah kayu beratap joglo, lelaki mancung berbusana putih panjang tengah menikmati sebatang rokok dan secangkir kopi di bawah sinar rembulan. Pria kurus berkulit putih tersebut tersenyum tulus menatap sesosok pria sepuh berbusana serba hitam panjang. “Njenengan tumben bertamu malam-malam begini, Mbah. Apa ada hal penting?”

“Ini bukan penting, Den. Tapi genting,” sahut Mbah Purwadi usai menghela napas berat. Mereka berdua duduk di pelataran rumah kayu sederhana di puncak gunung. Di seberang jurang dari rumah tersebut – mungkin sekitar belasan meter, terdapat air terjun nan deras. Air terjun dan halaman rumah penuh rumput hijau tersebut dipisah oleh jurang curam.

“Apa ini soal keputusan njenengan?” terka sosok mancung dengan celak hitam tipis di sekitar mata.

“Sepertinya sudah jadi garis takdir. Dahulu aku berguru pada ayahandamu – Abah Yahya, begitu pula dengan Arjuna Putih. Dan sekarang sepertinya aku harus menitipkan cucuku padamu, Den.”

Lelaki rupawan berbusana putih panjang sejenak hening. Senyuman terulas di bibirnya kemudian. “Kenapa Mbah Pur tidak serahkan dia ke markas SM pusat?”

“Kau pasti paham kalau situasi kerajaan sedang tidak baik-baik saja. Aku takut dia justru mengikuti langkah yang salah jika berdiam di sana.”

“Jika saja … perjalanannya menjadi pemegang Kujang Ludira adalah takdir muallaq yang dapat diubah, saya akan berusaha agar ketakutan Arjuna Putih tidak terjadi. Tapi jika itu sudah jadi kehendak mutlak-Nya, maka kita tak bisa berbuat apa-apa.”

Drap … drap … drap … drap ….

(Inframe : Athar)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Inframe : Athar)

Sesosok remaja berusia sembilan belas tahunan muncul mendekat dari rumah kayu, membawa nampan bambu berisi camilan dan secangkir kopi hitam. “Punten,” ucapnya menaruh nampan berisi hidangan dan minuman.

Mbah Pur sejenak tersenyum menatap pemuda berjaket biru laut. “Nuhun,” sahutnya menerima secangkir kopi. Tanpa dijelaskan, Mbah Pur langsung paham bila pemuda ini berasal dari daerah Cidewa Hideung – tempat berlatar Sunda kental. Ia kembali memasang wajah serius dan menatap pria mancung berbusana putih. “Raden Armi … saya mohon titip, saya mohon panjenengan berkenan membimbing Ni’mal agar tak salah langkah,” pintanya sepenuh hati.

Raden Armi mengangguk lirih penuh kemantapan sambil menjawab, “Insyaallah, Mbah. Insyaallah ….”

Mbah Purwadi tersenyum lega mendengar jawaban Raden Armi. “Omong-omong, di mana gadis kecil yang njenengan latih itu?”

“Dia sudah pergi ke Pancer beberapa minggu lalu dan masuk satuan SM pengintai.”

Lelaki berjenggot lebat mengangguk paham. “Lalu anak laki-laki ini … apa dia juga akan masuk ke satuan SM?”

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now