Chapter 39 : Sebuah Tugas dan Rahasia

34 8 10
                                    

"Woooohooooo!" Agni terbang di angkasa. Netranya lebar terbuka menatap birunua langit. Sesosok gadis berkacamata ia gendong di punggung.

"A-Agni! Pelan-pelan!" rengek Rahaf seraya berpegangan kepada pundak si gadis berjubah hitam.

"Apa? Kak Rahaf mau lebih kencang?" Agni pura-pura tak dengar rengekkan Rahaf. Ia berdalih bila angin kencang mengkaburkan suara.

"A-Agni! Pelan-pelan!" teriak Rahaf menangis.

"Ohhhh? Jangan pelan-pelan? Okey!" Agni menyeringai, menambah kecepatan terbangnya. "Wooohooooo!"

Mereka berdua berpamitan guna memburu beberapa ekor burung demi sebuah menu unggas bakar. Sebaliknya, Agni yang masih merasa kenyang usai melahap 8kg mangga seorang diri, bermaksud menghabiskan tenaga lebih dahulu.

"Agni! Pelan-pelan!" Kali ini Rahaf mencekik leher Agni sembari menggoyangkannya beberapa kali.

"Uhok! Hoork! Kak! Jangan cekik-cekik woy!"

Ploookk!

Sesuatu bertekstur seperti lumpur yang juga berbau tak sedap, menimpa mereka berdua dari atas. Tubuh kedua gadis sakti itu pun dipenuhi benda lengket beraroma busuk.

Agni dan Rahaf mendongak ke atas. Dijumpainya sesosok burung raksasa seukuran bus kota, tengah melayang terbang mendahului mereka. Tak seperti burung kebanyakan, makhluk ini memiliki empat buah sayap di punggung.

"Huwaaaa!" Rahaf menjerit sebal. Ia sadar bila benda yang menempel pada mereka berdua adalah kotoran si burung raksasa. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, semuanya jadi beraroma busuk. "Tai burung! Huwaaaa!"

Wajah Agni yang juga belepotan oleh kotoran, berubah beringas. "Dasar burung bedebah! Aku makan kau sampai tulang-tulangmu!" teriaknya menambah laju terbang guna menyusul si burung.

***

Kediaman Raden Armi, Kadipaten Sunyoto.

Kicau burung-burung kecil menyadarkan Ni'mal dari mimpinya. Pandangan mata pemuda berambut lebat tersebut seketika tertuju pada Puspa. Cucu Ki Ageng Jagat ini tertidur pulas dengan posisi badan menjorok ke dipan, sementara badan bawahnya berada pada kursi kayu.

"Puspa?" lirih Ni'mal. Kepalanya beralih kepada Srikandi yang juga tertidur. Tetapi dalam posisi berdiri, bersandar ke dinding kayu kamar. "Srikandi?"

Tangan berotot Ni'mal meraba leher. Tak ada bekas luka akibat gigitan si wanita kelelawar. Padahal jelas bila lehernya semalam dicaplok oleh manusia jadi-jadian. Aku ... pingsan lagi? Mereka berdua yang menyelamatkanku, ya? Nu'mal berdengus lirih. Memalukan ... lagi-lagi diselamatkan perempuan.

"Hey, bodoh!" Srikandi terjaga masih dalam posisi yang sama. "Lain kali kala mau pergi, kabari rekan-rekanmu!" omelnya ketus.

"M-maaf," sahut Ni'mal menunduk. "A-anu ... omong-omong bagaimana keadaan Ratih dan Anjani?"

Gadis berbusana putih panjang melangkah mendekat. Matanya melotot. "Kenapa kau pergi ke gunung itu sendirian? Apa kau lupa kalau kau ini sedang mengikuti Sayembara?"

Akibat suara Srikandi yang cukup keras, Puspa terbangun. Mata jelinya sontak tertuju pada Ni'mal yang sudah dalam posisi duduk. "Ni'mal? Kau ... siuman? Bagaimana keadaanmu?"

Dengan wajah murung, Ni'mal tertunduk. "Aku hanya cari angin segar." Ia merasa tak perlu menceritakan soal mimpinya, apalagi soal hubungan darahnya dengan Anjani.

"Kak Ni'mal?" Anjani datang memasuki kamar. Dirinya spontan jadi pusat perhatian Srikandi dan Puspa.

Gadis berambut biru bersedekap. Apa gadis ini juga terlibat asmara dengannya?

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang