Chapter 29 : Melawan Sang Guru

29 8 0
                                    


Halaman Depan Padepokan Gajah Putih, Kadipaten Cidewa Hideung.

Lastri tertunduk lesu sambil memeluk lutut. Gadis berkaos putih panjang tersebut memandang beberapa jenis bunga warna-warni di hadapannya. Lamunannya terpecah mendengar derap lirih seseorang dari belakang.

Srikandi, gadis tegas berwajah jutek nan berhati lembut itu muncul dari belakang Lastri. Tidak ada pembicaraan di antara keduanya untuk beberapa menit. Hingga kemudian, Srikandi mengambil posisi duduk di sebelah Lasrti - dua meter darinya. "Maaf."

Lastri yang mendengar kalimat itu, sontak menoleh lirih. "Untuk apa?"

"Maaf karena bicara kasar begitu di depanmu dan Ni'mal. Tak seharusnya aku bi-"

"Perkataanmu benar, kecuali tentang diriku yang memancing kemunculan Makhluk Hitam."

Apa? Si gadis berambut biru panjang mengerutkan kening. Benar bukan dia yang memicu kemunculan Makhluk Hitam? Apa jangan-jangan ucapan Raden Armi benar ... kalau serbuan Makhluk Hitam di Senlin adalah ulah para pejabat di sana?

"Kak? Namamu ... Kak Srikandi, kan?"
"Ya," sahutnya singkat.

"Apa aku boleh minta tolong, Kak?" lirih Lastri.

"Minta tolong apa?"

"Aku sudah dengar kalau Kak Srikandi sudah beberapa kali mencegah Mas Ni'mal hilang kendali. Kedepannya, tolong lakukan itu."

Srikandi buang muka. "Buat apa? Kan ada kau yang bisa terus menemaninya."

"Siang ini, aku diminta pergi ke Sunyoto."

"Kenapa? Oleh siapa?" selidik Srikandi.

***

Halaman belakang Padepokan Gajah Putih, Kadipaten Cidewa Hideung.

Saat sang surya masih separuh tersembunyi di balik cakrawala, Ki Ageng Jagat duduk bersila pada jarak pemisah antara beringin besar pendek satu dengan yang lain. Lima meter di belakang sosok sepuh berjenggot, adalah tebing terjal. Panorama indah hutan dan pegunungan dapat ditilik dari sana. "Bagaimana tidurmu semalam, Ni'mal?" sapa Ki Ageng Jagat, melihat pemuda berkaos merah polos dengan celana hitam panjang, datang.

"Nyenyak, Ki." Cucu Mbah Purwadi duduk menghadap pria sepuh berbusana serba hitam.

Lelaki sepuh berblangkon hitam tersebut mengambil sebungkus rokok dan sebuah korek gas. Sudah ada secangkir kopi panas di dekat paha. "Yah, sudah harusnya begitu. Dikhawatirkan tiga perempuan geulis, kok," celetuknya tersenyum.

Pemuda berambut lebat dengan netra iris cokelat garuk-garuk rambut meski tak gatal. Karena bloon atau memang tak handal dalam asmara, ia tak tahu siapa gadis-gadis yang dimaksud Ki Ageng Jagat. "Omong-omong ... ada apa, Ki?"

"Ni'mal ... keributan yang kau sebabkan kemarin, jadi perhatian orang-orang Manunggal. Semua media dari koran hingga internet, mencari tahu siapa pelaku sebenarnya."

"T-tapi, Ki ... saya kan pakai to-"

"Topeng Arjuna Merah itu, mungkin bisa menyamarkan identitasmu sementara waktu. Untuk sekarang, hanya aku, Raden Armi, Puspa, Srikandi, dan beberapa gelintir saja yang tahu. Syukur pihak Keraton Utama belum tahu siapa pelakunya. Kalau mereka tahu, maka kau langsung digugurkan dari Sayembara, dan mendekam di penjara Keraton Utama."

"Terus kenapa Keraton Utama tidak menangkap para pejabat Senlin! Mereka yang menculik Lastri! Mereka juga yang menculik Kakek!" Nada bicara Ni'mal meninggi.

Ki Ageng Jagat sejenak melirik pada cincin akik merah yang mulai menyala temaram di jari Ni'mal. Pria sepuh tersebut menenangkan diri, menyeruput kopi dan menyesap sebatang lisong. Bibirnya lirih menyebut istighfar. "Nak ... politik itu kejam. Dan orang-orang Senlin, memang sudah biasa bermain lewat cara kejam. Ini bukan soal menumpas kejahatan dan memburu Makhluk Hitam, tapi ini soal mencari bukti kebenaran dan menyudutkan para penguasa lalim itu kepada masyarakat."

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now