Chapter 24 : Perangkap dan Keraguan

36 9 0
                                    

Ruang tamu Padepokan Gajah Putih, Kadipaten Cidewa Hideung.

Raden Armi, Raden Irawan, Srikandi, dan Ki Ageng Jagat, duduk tenang saling berhadapan. Di atas meja kayu itu, sederet camilan dan buah segar, tersaji – siap disantap. Pada rapat dadakan itu, Raden Irawan menjelaskan soal penemuannya bersama Baron Saga Geni di sebuah gua Wilayah Arsir Cidewa Hideung. Tak luput, ia memberitahu Raden Armi mengenai kemampuan misterius Ni’mal dan aura merah tak kasat mata yang keluar dari tubuhnya.

“Selain saya dan Ki Ageng Jagat, anak-anak Padepokan Gajah Putih akan mengawasi Ni’mal. Jadi pihak Keraton Utama tak perlu cemas mengenai itu. Lagi pula, sejauh ini Ni’mal belum melanggar aturan Sayembara Manunggal,” ucap Raden Armi sebelum menyeruput kopi. “Omong-omong soal prasasti yang kau temukan itu, apa kau masih ingat lokasinya?”

Sang Putra Mahkota mengangguk. “Masih, Den.”

Ki Ageng Jagat menyumbang usul, “Kalau begitu utus SM Cendrawasih dan Garuda untuk mengambil prasasti itu. Aku yakin, benda itu belum hancur meski tertimbun reruntuhan gua.”

Pemuda bersyal merah menjawab, “Saya sudah mengirim Baron dan Zain untuk mengambilnya, mereka sudah mengirimnya ke Keraton Utama. Tapi, Ki … yang masih saya bingung … apa Kujang Ludira itu benar-benar masih ada? Bukankah Kesatria Manunggal sudah menghancurkannya ratusan tahun lalu?”

Raden Armi menghela napas, merogoh sebungkus rokok dari saku celana. “Kujang Ludira hanya bisa dimusnahkan oleh pemilik sejatinya menggunakan Keris Tangan Dewa. Karena Kesatria Manunggal tidak ingin seantero Manunggal was-was atas keberadaan benda itu, dia mengumumkan jika Kujang Ludira telah berhasil dihancurkan. Nyatanya … dia sendiri yang menyegel benda terkutuk itu di suatu tempat.”

Srikandi dan Raden Irawan terbelalak. “Lalu di mana benda itu sekarang?” tanya sang Putra Mahkota penasaran.

Ki Ageng Jagat menjawab, “Kami, dan para Sura pun belum tahu keberadaan kujang terkutuk itu. Menurut prasasti yang ditemukan di pesisir Sunyoto, hanya pemegang sejatinya yang akan melepas segel dari Kesatria Manunggal.”

“Apa artinya kita hanya bisa berdiam saja? Bukannya bahaya kalau pemilik benda itu menggunakannya untuk berbuat kerusakan?” cecar Raden Irawan.

Raden Armi menyalakan rokok di tangan. “Yang aku dengar, benda itu disegel di dekat salah satu Pohon Pasak Manunggal. Belasan tahun lalu, aku pernah memimpin beberapa SM tingkat Garuda untuk mencarinya, tetapi kami tak dapat menemukannya.”

“Belasan tahun lalu? Apa setelah itu … belum pernah diadakan pencarian lagi?” tanya Srikandi.

“Kalau begitu … saya akan mengumpulkan SM kelas Gagak untuk mencari keberadaan benda itu,” ucap sang Putra Mahkota. “Saya mohon undur diri,” imbuhnya bangkit berdiri, meninggalkan ruang tamu.

“Nduk? Kamu ndak pengen cari angin segar?” Pria mancung bercelak hitam menatap Srikandi seraya melempar senyum.

Paham bila sosok tersebut hendak berbincang empat mata dengan pemilik Padepokan Gajah Putih, Srikandi berdiri. “A-ah, baik, Den. Saya pamit undur diri," ucapnya melenggang pergi.

Pria berbusana hitam lengan panjang dengan blangkon di kepala menghela napas lirih. “Bocah itu sepertinya tidak boleh lepas dari pengawasan. Kalau Srikandi tidak datang tepat waktu, pasti Raden Irawan dan Baron Saga Geni bertarung mati-matian.”

Ki Ageng Jagat turut menyalakan sebatang kretek. “Srikandi bilang kalau batu akiknya sudah retak. Kalau dibiarkan, dia bisa mengamuk sebelum Sayembara Manunggal berakhir.”

“Mari kita lihat … kalau di babak ketiga nanti dia masih kambuh seperti itu … sepertinya harus ada penanganan lanjut.”

Deg!

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now