Chapter 20 : Tiga Cinta Satu Purnama

22 10 0
                                    

Wisma SM, Kota Jayakarta, Kadipaten Senlin.

Pagi itu, Athar, Ratih, dan Bram sedang membakar beberapa ekor ayam di halaman depan gedung. Tepatnya, di halaman berumput bak taman tanpa bunga.

“Heh! Bisa-bisanya kau baru datang sekarang! Pergi ke mana kau kemarin! Ha!” Athar melotot memandang Adnan si pemuda berambut putih yang datang mendekat.

"Hehe ...." Pemuda tampan berbadan cebol meringis. “Maaf, tapi aku benar-benar harus pulang kemarin. Ada urusan yang tak bisa kutinggal.”

“Heh! Kami semua juga tergigit siluman laba-laba jarang dibelai! Kami juga bisa mati konyol kemarin di dalam gua!” imbuh Athar ketus.

“Maaf,” Adnan meringis kecut, garuk-garuk rambut.

“Awas saja kalau di babak kedua kau mendadak hilang lagi! Aku ikat mukamu di ketiak kuda!”

“Sudah, biarkan saja,” ujar Bram tenang. Lelaki kekar bersinglet putih tersebut membumbui ayam bakar di depannya.

Swuuuuusss!

Sesosok gadis berjubah hitam melayang terbang dengan kedua tapak kaki menyembur api. “Ayam bakar!” teriaknya girang.

Bram sigap menyembunyikan tiga ayam bakar utuh di depannya, menaruhnya ke belakang punggung. “Aaa, aaaa, aaa … ndak boleh!”

“Ini lagi satu! dateng-dateng ke regu lain mau nyomot makanan!” gerutu Athar setelah Agni mendarat di depan mereka.

“Hish! Pelit kali kalian! Berderma itu baik! Orang kikir kuburannya sempit!” celetuk Agni manyun.

“Panggil aku, Aa ganteng! Setelah itu, aku bagikan buatmu,” pinta Athar sambil berdiri bersedekap.

Cet!

“Agni! Dapat! Kyaaaa!” Rahaf yang diam-diam mengendap di belakang Bram, merebut tiga tusuk ayam bakar dari tangan si pria kekar. Gadis berkacamata tersebut langsung lari tunggang langgang menjauhi mereka.

“Ya sudah! Jangan minta daging Kaprinya ya!” Bram tersenyum lebar, memamerkan seonggok kambing berbadan bagian bawah ikan – mirip kambing duyung.

“Aaaaaa! Om Bram terbaek! Aku mau Kapri aja!” Agni melayang meninggalkan Rahaf. Saliva gadis tersebut menetes keluar melewati bibir.

“Heeh! Panggil aku Mas Bram!”
Adnan si pemuda berambut putih hanya geleng-geleng. “Hadeh … dasar pada rakus.”

Tep ….

Srikandi, gadis berambut biru panjang dalam balutan busana putih itu berhenti di depan Athar dan Adnan. “Apa kalian lihat Puspa?”

Adnan dan Athar saling menoleh. “Tidak,” jawab mereka serentak.

“Apa si bodoh Ni’mal ada di sini?” tanya Srikandi lagi.

“Tidak ….” Adnan dan Athar menggeleng bersamaan.

***

Ruang Tamu Keraton Utama Pancer, Ibukota Pancer.

Ni’mal duduk lesu menatap puluhan piring dengan berbagai hidangan lezat di sana. Tak seperti Puspa yang sesekali melahap beberapa camilan dan buah, pemuda berkaos merah itu menatap kosong ke meja emas di hadapannya. Sebuah meja emas lebar sepanjang belasan meter.

Pencariannya terhadap Lastri di rumah sakit sama sekali tak berbuah. Ia dan Puspa justru dihampiri ratusan orang berseragam SM, mengawal mereka tuk datang ke Keraton Utama. Awalnya ia curiga, tetapi setelah melihat sambutan hangat para dayang keraton, kecurigaannya sirna. 
“Kau pasti belum sarapan. Makanlah dulu sedikit,” tawar Puspa mengulurkan potongan buah mangga ranum.

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraWhere stories live. Discover now