Chapter 53 : Keputusan

24 8 0
                                    

Beberapa hari lalu, Kediaman Tumenggung Kadipaten Senlin.

Cepot bersedekap sambil menyandarkan punggung ke kursi. Pria bertopeng merah tersebut menatap dua petinggi Kadipaten Senlin seraya berkata, "Arjuna Merah pasti akan mengamuk. Aku sendiri yang akan memastikannya. Tugas kalian nanti, perintahkan saja para PM untuk mengepungnya setelah pertandingan selesai."

Wakil Tumenggung Yo protes, "Heh! mana mungkin pasukan bersenjata kami bisa menang melawan monster itu!"

Cepot memangku kaki satunya - duduk jengkang. "Prabu Cakrabumi pasti hadir di sana, kan? Mana mungkin dia hanya diam saja?"

Pria tua berjenggot abu-abu mengangguk. "Tapi bagaimana jika bocah itu tersadar? Maksudku ... Makhluk yang ada di dalam dirinya tak lagi membuatnya mengamuk?"

Cepot tersenyum dari balik topeng. "Kalau pun Ni'mal sadar saat dia dikepung, paling tidak rakyat sudah lihat siapa jati dirinya. Dan jika Prabu Cakrabumi tak melakukan sesuatu, rakyat Manunggal pasti paham ... jika raja benar-benar membela Arjuna Merah si pembunuh."

Tumenggung Hendrick kembali manggut, tersenyum lebar. "Ahahah, aku paham maksudmu!"

***

Athar geram melihat puluhan personel PM yang memasuki arena pertandingan dan mengepung Ni'mal. Ia bangkit dan berteriak, "Hey! Apa yang kalian lakukan!"

Raden Armi menepuk pundak Athar dan berkata, "Biarkan. Jangan ikut campur."

Puspa kali ini protes, "Tapi, Ni'mal tidak melakukan pelanggaran apapun? Mereka akan menangkapnya, kan?"

Bwuuuussssh!

Tekanan energi sukma nan kuat di sekitar tubuh sang raja menciptakan tiupan angin, membuat seisi stadion menoleh menatap sosok bermahkota emas. Sang pemimpin tertinggi Manunggal mendelik mengarah arena. "Diam di tempat!" titahnya melompat turun ke dalam arena, menembus masuk pagar gaib yang masih terpasang tanpa merusaknya.

Adnan justru terpukau pada perbuatannya barusan. Prabu Cakrabumi menembus masuk pagar gaib yang diciptakan Tetua Manunggal tanpa menghancurkannya? Aku kira ... dia hanya pria yang sibuk berkutat untuk mengatur negara ... sepertinya aku salah sangka.

Puluhan PM di dalam arena berlutut menghadap sang raja sambil menurunkan senjata di tangan mereka. Keseluruhan menunduk, tak berani menatap muka sang pria bermahkota.

"Ni'mal ... Apa kau ingat siapa dirimu?" tanyanya berhenti dua langkah dari pemuda berjaket hitam merah yang masih berlutut lemas.

Kilasan darah, jerit histeris, dan kobaran api yang mengamuk di malam hari, berseliweran di kepala. Sedetik kemudian darah merah mengalir dari hidung mancungnya. Aku? Bulu kuduknya berdiri. Rasa nyeri kembali menjalar merambati kepala.

Keheheh! Kau ini pembunuh, Nak! Bocah beraura merah yang haus darah! Kau membantai manusia demi kekuatan! Apa kau lupa? Suara mirip dirinya menggema di kepala.

Ni'mal mengejam, mengeratkan gigi dan memejamkan mata. "Diamlah! Aku bukan pembunuh!" sahutnya membalas suara si makhluk misterius.

Sang pria berkumis lebat dengan mahkota emas menutup mata. Terbesit wajah seorang pemuda dengan muka mirip Raden Irawan. Sang raja tanpa sadar memusatkan tenaga dalamnya ke telapak tangan kanan. Nalurinya disetir oleh dendam yang ia pendam. Harusnya aku membunuhmu segera!

"Uuukh!" Ni'mal tak bisa bergerak. Badannya seakan membeku akibat tekanan pria kekar nan rupawan di hadapannya. Tubuhnya terasa ditarik ke bumi, membuatnya tak kuasa berdiri. Apa Prabu Cakrabumi ingin membunuhku?

Kyahahhah! Nak? Apa kau tak mau melawan? Aku bisa membantumu, loh! Tapi sebagai gantinya, kau harus membiarkanku membunuh semua orang yang menghalangi! Bagaimana?

Kisah Negeri Manunggal : Titisan Iblis dan Kujang LudiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang